HEADLINE NEWS

Minta Dikritik dan Revisi UU ITE, Ketua DPI Tantang Presiden Tegakkan Kemerdekaan Pers

By On Kamis, Februari 18, 2021

OPINI


Ditulis Oleh

 Heintje Grontson Mandagie, (Ketua Dewan Pers Indonesia)


Presiden Republik Indonesia Joko Widodo secara mengejutkan meminta pemerintahannya dikritik. Permintaan itu pun menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan. Tak lama berselang, Presiden Jokowi kembali membuat pernyataan yang menggemparkan seantero penjuru tanah air. Secara tegas Presiden Jokowi meminta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE itu direvisi jika tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Pernyataan Presiden itu disampaikannya menyusul maraknya aksi saling lapor ke polisi yang menjadikan UU ITE sebagai rujukan hukumnya.  


Sikap Presiden tersebut patut diapresiasi. Sebab kedua hal penting yang disampaikan Presiden Jokowi itu sangat relevan dengan persoalan serius yang sedang dihadapi insan pers di seluruh Indonesia. Pers yang selama ini menjadi korban penerapan UU ITE, kini memiliki harapan baru jika UU ITE tersebut benar-benar jadi direvisi. Namun  begitu, Presiden Jokowi sepertinya perlu ditantang agar lebih berani bertindak untuk menjamin penegakan kemerdekaan pers. 


Bagi insan pers, presiden seharusnya tidak perlu menunggu terlalu lama melakukan kajian tentang kemudaratan penerapan UU ITE di masyarakat. Sebab pada prakteknya, banyak sekali kepala daerah dan pejabat publik justeru menggunakan UU ITE sebagai tameng untuk melindungi dirinya dari kontrol pers dan memilih melaporkan wartawan dan media ke polisi dengan rujukan UU ITE bukan UU Pers ketika dirinya diberitakan terlibat dugaan korupsi atau penyimpangan anggaran.  


Presiden juga seharusnya mengetahui  di negeri ini ada harga ‘nyawa’ dan ‘jeruji besi’ untuk nilai sebuah berita. Karena tak sedikit wartawan dan perusahaan media yang memuat berita tentang dugaan korupsi kepala daerah atau pejabat publik dan pengusaha harus mendekam di balik jeruji besi karena dikriminalisasi dengan rujukan UU ITE tersebut. Bahkan di tahun 2018 lalu ada wartawan Muhammad Jusuf di Kalimantan Selatan tewas dalam tahanan akibat berita yang ditulisnya dijerat UU ITE. Akibat dari itu jaminan perlindungan hukum terhadap wartawan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi tidak berlaku karena penyidik Polri lebih memilih menggunakan UU ITE ketimbang UU Pers dalam menangani laporan tentang pelanggaran UU ITE terkait pemberitaan di media Online.  


Terkait permintaan kritik terhadap pemerintah yang disampaikan presiden untuk meningkatkan pelayanan publik perlu ditanggapi serius. Sebab insan pers pernah memiliki pengalaman buruk terkait pelayanan publik yang diabaikan Presiden.  


Masih segar dalam ingatan, ketika semangat pergerakan kemerdekaan pers pada pelaksanaan Musyawarah Besar Pers Indonesia tahun 2018 dan Kongres Pers Indonesia 2019 memicu pergerakan nasional kebebasan pers di berbagai daerah di Indonesia. Namun sangat disayangkan rekomendasi hasil keputusan insan pers melalui dua even besar tersebut diabaikan Presiden. Rekomendasi hasil Kongres Pers Indonesia tahun 2019 yang melahirkan 21 orang Anggota Dewan Pers Indonesia secara demokratis, sebetulnya telah diserahkan ke Presiden pada tanggal 16 April 2019 namun tidak digubris sama sekali.    


Untunglah insan pers konstituen Dewan Pers Indonesia tidak marah atas sikap Presiden. Nyaris tidak ada media yang protes atau mempertanyakan sikap Presiden tersebut. Meskipun begitu perjuangan menegakan kemerdekaan pers masih terus berlanjut. Penolakan terhadap pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan secara ilegal oleh Dewan Pers dan organisasi konstituennya dilawan dengan mekanisme pelaksanaan yang sesuai aturan perundang-undangan yakni penyusunan Standar Kompetensi Kerja Khusus Wartawan melalui Kementrian Ketenagakerjaan dan pendirian Lembaga Sertifikasi Profesi Pers Indonesia lewat pengajuan lisensi di Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP.  


Semua persoalan tentang pers yang diulas di atas, sesungguhnya sudah pernah tertuang dalam satu Surat Terbuka kepada Presiden yang dilayangkan pada tahun 2018 lalu. Begitu viral surat terbuka tersebut dipublikasikan di ratusan media online se Indonesia namun tak ada respon sama sekali dari Presiden. Padahal kritikan dalam surat tersebut sangat jelas menggaris bawahi keresahan insan pers tanah air atas maraknya kriminalisasi pers di rezim ini.  


Sehina itu kah puluhan ribu media online yang disebut abal-abal oleh Dewan Pers sehingga layak dikriminalisasi dan tidak layak diperhatikan oleh yang mulia Presiden RI Joko Widodo? Atau tidak berartikah upaya mayoritas masyarakat pers mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional melalui Mubes Pers Indonesia 2018 dan Kongres Pers Indonesia 2019 di mata Presiden RI Joko Widodo?


Presiden mungkin lupa bahwa ketika bangsa ini nyaris terpecah dua akibat terpolarisasi dalam situasi pelaksanaan Pemilihan Presiden 2019 lalu, ribuan media online lokal justeru berperan aktif menyejukan suasana politik dengan pemberitaan yang netral karena takut dikriminalisasi. Media mainstream nasional justeru terlihat asik dengan liputan kerusuhan secara berulang-ulang di media televisi. Bahkan konflik dan perbedaan politik menjadi komoditas industri media disaat Pilpres kemarin. Kini semua konflik sudah berlalu dan situasi sudah harmonis kembali.   


Sekarang ini Presiden Jokowi harus tahu bahwa di berbagai daerah masih banyak Pemerintah Daerah terjebak menggunakan Peraturan Dewan Pers menjadi syarat kerja sama dengan perusahaan media, meskipun Peraturan Dewan Pers itu bukan merupakan bagian dari Peraturan Perundang-Undangan. Bagaimana mungkin Pemerintah Daerah menggunakan peraturan lembaga independen menjadi syarat pengelolaan administrasi pemerintahan. Celakanya, dalam penyelesaian sengketa pers pun Dewan Pers sering membuat rekomendasi kepada penyidik Polri bahwa wartawan dan media yang menjadi teradu adalah tidak terdaftar atau belum terverifikasi Dewan Pers sehingga pengadu bisa menempuh aturan hukum lain di luar UU Pers. Hal inilah yang menyebabkan maraknya praktek kriminalisasi pers di berbagai daerah.  


Bahkan sadarkah presiden bahwa Indeks kebebasan pers Indonesia tahun 2020 menurut Lembaga Pemantau Reporters Without Borders tercatat masih berada pada level bawah yakni pada peringkat 119 dari 180 negara, dan tahun sebelumnya pada level 124. Dalam halaman resminya, Lembaga ini menyebutkan, Presiden Jokowi gagal memenuhi janji kampanyenya yang menjanjikan penghormatan terhadap kebebasan pers selama masa jabatan lima tahun pertamanya. 


Artinya, tanggung-jawab indeks kebebasan pers Indonesia dibebankan kepada Presiden Jokowi oleh Lembaga Pemantau Reporters Without Borders. Terlebih lagi, Presiden dan jajaran pemerintahannya mungkin lupa bahwa puluhan ribu media online yang dihina oleh Dewan Pers dengan sebutan abal-abal dan didirikan untuk tujuan memeras, sesungguhnya adalah mayoritas masyarakat Pers Indonesia yang telah menciptakan ratusan ribu lapangan pekerjaan bagi wartawan yang ikut membayar pajak sebagai kontribusi nyata bagi pemasukan APBN. Bagaimana mungkin Presiden Joko Widodo tutup mata dengan nasib puluhan ribu perusahaan media berbadan hukum dan ratusan ribu wartawan ini yang kini berharap lebih kepada Dewan Pers Indonesia untuk memperjuangkan nasibnya.


Saat ini Dewan Pers Indonesia sedang fokus memperjuangkan belanja iklan nasional agar bisa ikut terserap ke daerah agar tidak hanya dimonopoli oleh media nasional. Sebagai kritik Dewan Pers Indonesia terhadap Presiden adalah sikap pemerintah yang selama ini melakukan pembiaran terhadap pelanggaran Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang dilakukan seluruh Lembaga Penyiaran Swasta Nasional yang masih melakukan kegiatan siaran secara nasional. Sejak tahun 2005, batas akhir Lembaga Penyiaran Swasta menyesuaikan operasional dan perijinannya dengan Undang-Undang Penyiaran, namun pelanggaran yang terjadi sesudah itu tidak pernah ditindak, termasuk oleh pemerintahan saat ini. Lembaga Penyiaran Swasta yang kemudian mendirikan perusahaan TV Lokal ternyata sebagian besar masih merelay siaran nasional melebihi batas prosentasi  jumlah siaran nasional yakni hanya 40 persen dan konten siaran lokal sebanyak 60 persen. 


Dampak dari pelanggaran UU Penyiaran ini, Lembaga Penyiaran Swasta bidang usaha Televisi dan Radio masih saja menyiar secara nasional. Padahal hanya TVRI dan RRI yang boleh menyiar secara nasional, selain dari pada itu perusahaan TV dan radio swasta nasional yang sudah ada sebelumnya harus mendirikan perusahaan TV lokal dengan frekwensi wilayah penyiaran terbatas. 


Pelanggaran UU Penyiaran oleh Lembaga Penyiaran Swasta ini berpengaruh pada distribusi belanja belanja iklan nasional yang hanya terpusat di Jakarta dan dimonopoli oleh perusahaan media Televisi. Hal itu disebabkan pengguna jasa periklanan lebih memilih beriklan di media televisi yang jangkauan siaran dan relay siarannya mencakup seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini pun adalah praktek monopoli. Karena perusahaan agency periklanan di Jakarta saja yang menikmati tender belanja iklan nasional sementara perusahaan agency lokal terpaksa gigit jari. Ada potensi pelanggaran Undang-Undang anti monopoli di situ. 


Padahal, jika seluruh Lembaga Penyiaran Swasta bidang usaha Televisi dan Radio sudah menjadi perusahaan lokal di setiap provinsi maka pada gilirannya belanja iklan nasional akan secara otomatis terdistribusi ke daerah. Pengguna jasa periklanan akan memilih mendistribusi belanja iklan promosi produk melalui perusahaan-perusahaan media lokal. Hal inilah yang sedang diperjuangkan oleh Dewan Pers Indonesia melalui Serikat Pers Republik Indonesia di berbagai daerah bersama-sama dengan organisasi pers konstituen lainnya. 


Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau menjadi pilot project dengan program Diskusi Media bertema Monopoli Belanja Iklan nasional dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Belanja Iklan Nasional. Respon yang sangat luar biasa dari Ketua DPRD Sumut dan jajarannya semakin memuluskan tindak lanjut dari hasil diskusi media yang digagas SPRI tersebut. Belanja iklan nasional yang menjadi sumber potensi Pendapatan Asli Daerah nantinya dapat diatur melalui Ranperda. Dan menariknya SPRI kini diminta oleh pimpinan DPRD untuk membuat kajian naskah akademis terkait penyusunan Draft Ranperda tentang Belanja Iklan dimaksud. 


Dari pemaparan di atas, ada beberapa poin penting yang harus dilakukan presiden. Presiden Jokowi harus berani memerintahkan aparat penegakan hukum dan Komisi Penyiaran Indonesia menindak tegas Lembaga Penyiaran Swasta yang melakukan pelanggaran pidana dan adminsitrasi terhadap pelaksanaan UU Penyiaran.  


Presiden juga perlu mendorong pemerintah daerah memfasilitasi perusahaan agency lokal untuk menusun konsep promosi iklan produk nasional melalui perusahaan media lokal yang lebih efektif dan berbiaya terjangkau. Dan selain itu, Presiden bisa memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk mendukung langkah yang saat ini sedang ditempuh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara yang menginisiasi penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Belanja Iklan Nasional menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah sehingga bisa dilaksanakan secara nasional di seluruh Indonesia. 


Dengan cara ini maka perusahaan pers di daerah akan memiliki peluang besar mendapatkan jatah belanja iklan sehingga tidak perlu lagi, maaf, ‘mengemis’ kontrak kerja sama dengan pemerintah daerah untuk menutupi biaya operasional media. Langkah ini akan sangat efektif menciptakan perusahaan media yang independen dan profesional. Pada gilirannya pers Indonesia bisa sejahtera dan negara akan maju karena fungsi kontrol sosial pers berjalan baik. *

Mewujudkan Kampanye yang Rasionalistis Sesuai Visi- Misi

By On Rabu, September 30, 2020



Oleh

Baldi Pramana, SH. MK,n 

Tahapan kampanye sebagai wadah menyampaikan misi dan visi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati  calon harus bisa memaksimalkan pendekatan kampanye yang rasionalistis yaitu pendekatan dengan mis-visi atau program kerja yang real, dimana skala prioritas kebutuhan di masyarakat di utamakan, mengurai masalah-masalah pembangunan sektor ekonomi, pendidikan, dan sektor pertanian/ perkebunan sangat mendesak untuk di selesaikan. Hemat hami juga, warga tidak butuh slogan/ jargon-jargo semacam buaian angin dari surga sebaimana tertulis pada bahan, alat dan bahan praga kampanye paslon. 

Banyak pekerjaan rumah yang perlu di selesaikan oleh pemimpin kabupaten ini, bila tidak mau kami sebutkan hampir pada seluruh aspek kebutuhan perlu pembenahan seperti tingkat laju pertumbuhan  ekonomi sesuai data Badan Pusat Statistik ekonomi Sumatera Barat menurut Kab/ Kota tahun 2019, Kabupaten Pasaman Barat berada pada nomor  satu terbawah/  peringkat terendah, sesuai data BPS tahun 2019 yaitu 4,49 ( empat puluh koma empat puluh sembilan ) persen, berada dibawah  Kabupaten Mentawai yaitu sebesar 4,76 ( empat puluh koma tujuh puluh enam) persen. Banyak hal yang membuat kabupaten ini tertinggal jauh jika dibanding dengan daerah lain, kualitas pendidikan kita berada di peringkat bawah, masalah stunting atau anak bertumbuh pendek akibat ibu hamil kurang asupan gizi dan anak kurang gizi termasuk kasus nomor  satu atau dua tertinggi di Sumbar. 

Untuk itu, dalam tahapan kampanye ini, sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum  Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Pemilihan Gubernur & Wakil Gubernur, Bupati &  Wakil Bupati dan Walikota & Wakil Walikota serentak lanjutan dalam kondisi bencana nonalam corona virus desease 19 (covid 19), metode kampanye lebih menekankan kampanye daring/ media online dari pada tatap muka secara langsung, andaipun kampanye model pertemuan terbatas atau tatap muka masih di perbolehkan tetapi efektifitasnya pada masa pandemi covid 19 kurang tercapai. Hampir seluruh metode kegiatan kampanye menyesuaikan dengan protokol kesehatan, artinya iklan kampanye di media sosial, elektronik dan media massa lebih ditekankan terhadap paslon, jadi metode kampanye melalui daring/ media online harus mampu menjawab masalah-masalah warga, terkonsep dengan baik dan sistematis intinya maksud dan tujuan sampai. Bila Paslon dapat menyelipkan acara blusukan dengan alasan mengunjungi posko pemenangan maka bertatap muka langsung dengan warga bukan pula sekedar say hallo, tetapi menyampakain visi-misi serta program-program pro kerakyatan. Jangan menjual materi/ conten kampanye melebihi kapasitas kemampuan sebenarnya, melebihi fakta dari kompetensi sesungguhnya paslon, arti slogan atau jargon paslon sering membohongi publik. Di akhir tulisan ini, penulis berharap kepada seluruh paslon sekiranya  dapat berkampanye sesuai dengan aturan, santun dan mengandalkan visi- misi serta program kerja, bagaimana mengurai akar masalah ketertinggalan pembangunan di kabupaten kita. Dan kepada pemilih penulis berpesan agar memilih pemimpin berdasarkan logika, bijak dalam menyikapi informasi  agar tidak salah memilih pemimpin seperti membeli kucing dalam karung. (penulis :  Pemerhati Sosial, Politik & Hukum Pasaman Barat)


DILEMATIKA HUKUM PENCALONAN KEPALA DAERAH

By On Kamis, Agustus 06, 2020

Oleh : Baldi Pramana, SH. MK,n 

Pra-pencalonan atau admospir penggalangan dukungan oleh bakal calon kepala daerah terhadap partai pengusung Gubernur, Bupati dan Wali Kota masih simpang siur, bentuk dukungan baru sebatas klaim sepihak, tanpa ikatan tertulis dan hemat penulis untuk Pilkada Sumatera Barat tahun 2020, dari 11 Kabupaten, 2 Kota dan 1 Provinsi tidak ada pencalonan tunggal oleh partai pengusun dan belum ada yang memberikan legalitas pencalonan, keharusan berkoalisi mutlak adanya, sebagai syarat pemenuhan persyaratan pencalonan 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi di DPRD, atau keharusan parpol meraih sekurangnya 25 % (dua puluh lima persen) dari akumulasi jumlah suara sah pada wilayah pemilu anggota legislatif bersangkutan. 

Setidaknya formulir B-KWK-Parpol tentang surat pencalonan Gubernur, Bupati dan Wali Kota oleh parpol/ gabungan parpol, formulir B 1. KWK-Parpol keputusan pimpinan pusat partai tentang persetujuan pasangan calon Gubernur, Bupati/ Wali Kota, dan formulir B 2. KWK-Parpol tentang surat pernyataan kesepakatan parpol/ parpol dengan pasangan calon belum terbit. Ketiga jenis formulir merupakan akumulasi syarat mutlak sebagai tiket mengikuti kontestan Pilkada tanggal 9 Desember 2020 pada interen parpol belum final.

Hemat penulis, belum diberikannya formulir tersebut terkorelasi dengan tahapan, program dan jadwal pencalonan pemilihan kepala daerah tahun 2020, dimana jadwal pendaftaran pasangan calon baru akan dilaksanakan pada taggal 4 September sd 6 September 2020, dalam rentang waktu yang tersisa itu, masih cukup waktu bagi pengurus bersama dengan bakal calon guna melakukan wait and see politik atau lobi-lobi politik, merumuskan visi dan misi, dan sebagainya, memasangkan paslon dalam sebuah pilkada memerlukan pemikiran jenius dan strategis, dinamika politik masih dinamis dan berfluktuasi sebagai ranah perebutan perahu.

Drama saling klaim dukungan partai politik antar kandidat sampai dengan batas akhir waktu pendaftaran pencalonan yaitu tanggal 6 september pukul 24.00 WIB penuh misteri dan sulit diterka, semua bisa terjadi, tergantung pada mekanisme dan lobi-lobi para pihak juga oleh kepentingan pengurus parpol tingkat pusat dan daerah. Selain itu menurut praktek atau kebiasaan koalisi dalam pilkada sangatlah dinamis, arah kebijakan koalisi pencalonan tidak selalu atas dasar persamaan cita-cita atau idealisme melainkan menyesuaikan dengan konstituen Pilpres di suatu daerah dan elektabilitas calon.

Tahapan pencalonan sebagai agenda menuju kursi orang nomor satu/ titik puncak kekuasaan daerah sebagaimana disebutkan diatas, mengharuskan partai politik pengusung paslon untuk berkoalisi dengan beberapa partai, jika tidak dapat memilih maju melalui jalur independen/ non partai. Sebagai sebuah pengalaman berharga untuk penulis pada Pilkada sebelumnya, penulis merasa perlu sedikit berbagi pengalaman bersama masyarakat mengenai pencalonan kepala daerah sebagai pendidikan politik bagi masyarakat luas seputar legal problem atau aspek hukum pencalonan, baik aspek hukum tindak pidana pemilu, sengketa administrasi pencalonan, sengketa tata usaha negara dan pelanggaran kode etik, baik oleh KPU dan paslon.

Hal ini dimungkinkan terjadi karena dari dua jenis syarat pencalonan bisa berujung pidana dan gugatan apabila ada pemalsuan dokumen/ manipulasi, pertama syarat calon dan kedua syarat pencalonan, maka syarat pencalonan sebagai sebuah dokumen pencalonan diterbitkan oleh partai politik/ gabungan partai pengusung, jika berkaca pada pengalaman, dilematika pencalonan oleh pengurus partai pada masa pencalonan banyak tersandera oleh aroma perpecahan interen parpol, dokumen syarat pencalonan terbit atas kesepakatan para pihak.

Oleh sebab itu perlu cermat meneliti kelengkapan tanda tangan dari ketua dan sekretaris DPP/ DPW/ DPD masing-masing parpol atau gabungan partai politik. Tanda tangan dari pengurus merupakan sebuah keharusan (wajib ada), jika tidak lengkap KPU Provinsi/ Kabupaten/ Kota menetapkan status pencalonan tidak memenuhi syarat (TMS) dan berkas yang paslon bersangkutan di kembalikan ( di tolak). 

Sebaliknya apabila berkas sudah lengkap, menjadi kewajiban langsung seluruh ketua dan sekretaris partai pengusung mendampingi proses pendaftaran, bila salah satu pihak berhalangan hadir yang bersangkutan harus membuktikan ketidak hadiran tersebut dengan alasan kuat/ dapat dibuktikan dengan surat yang di keluarkan oleh instansi/pejabat berwenang, ini juga menjadi titik perhatian. 

Salah satu kesalahan yang perlu di hindari paslon dan tim yaitu dokumen syarat pencalonan tidak valid (kesesuaian nama paslon/partai dan pengurus, tanda tangan dan di cap stempel basah) artinya secara material dan formil syarat pencalonan wajib ada ketika melakukan pendaftaran bila tidak persyaratan dianggab belum lengkap (BL) dan pendaftaran di tolak. Pembagian tugas dan jadwal pendaftaran bersama leasing officer (LO) juga harus menjadi pertimbangan bersama penyelenggara, jangan sampai jadwal bentrok dengan kehadiran beberapa pasangan calon di dalam ruangan/tempat pendaftaran sehingga memecah titik fokus staf penerima pendaftaran, pembagian kelompok-kelompok/tim penerimaan pendaftaran perlu dipertimbangkan agar slogan KPU melayani hak pilih masyarakat bukan sekedar jargon, oleh itu komunikasi perlu dibangun termasuk dengan aparat keamanan.

Adapun syarat calon atau syarat personal calon terkait dengan dokumen priadi yang jumlahnya lebih banyak dari dokumen syarat pencalonan, seperti surat keterangan tidak pernah menjadi terpidana, surat keterangan sedang tidak menjalani pidana di dalam penjara, surat keterangan sudah selesai menjalani masa pidana, surat keterangan sedang tidak dicabut hak pilihnya, surat keterangan tidak pernah melakukan perbuatan tercela dari kepolisian, surat tanda terima penyerahan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), surat keterangan tidak sedang dalam kondisi jatuh pailit (bangkrut), dokumen wajib pajak, surat keterangan berhenti sebagai pejabat negara, fotokopi KTP-el, fotokopi ijazah yang sudah dilegalisasi, daftar nama tim kampanye tingkat provinsi/ kabupaten/kota atau kecamatan dan pasfoto terbaru. Sebagai catatan syarat calon tersebut juga dibawa ketika proses pendaftaran dan wajib ada, mengenai sah atau tidaknya akan diteliti pada masa penelitian, apabila belum memenuhi syarat dapat dilengkapi saat masa perbaikan.

Problematikan hukum merupakan sebuah dilema dari tahapan pencalonan, oleh sebab itu KPUD harus bertindak kolektif-kolegia, dalam bekerja berpedoman pada peraturan pencalonan baik itu PKPU, Juknis atau Surat Edaran tentang pencalonan, jangan mendahulukan yang sunnah dari pada kewajiban. Biasanya KPU RI akan akomodatif terhadap dinamika pencalonan di lapangan, respon cepat tanggap guna memberikan solusi mengenai masalah-masalah teknis di lapangan harus menjadi titik fokus KPUD, sehingga selalu up date dengan perkembangan informasi dari pusat, jika tidak keputusan yang akan di ambil KPUD bisa tidak tepat/ cocok dengan aturan terbaru.Malahan saking banyaknya surat edaran membuat KPUD kelabakan untuk memahami aturan-aturan, belum lagi aturan pencalonan terkait dengan aturan lain diluar ranah pemilu perlu juga di pahami. 

Keteledoran untuk memahami aturan dan mekanisme teknis pencalonan oleh peserta dan penyelenggara bisa berujung pada pelanggaran sengketa pilkada baik dugaan pelanggaran kode etik dan sengketa pencalonan baik di Bawaslu sebagai akibat adminsitrasi dan prosedurl pencalonan tidak tepat/ lengkap, sehingga salah satu pasangan/ tim melaporkan kejadian ini ke Bawaslu. Memang sengketa pencalonan hulu penyelesaiannya melalui Bawaslu, segala upaya adminstrasi harus terlebih dahulu ditempuh/ dilesaikan di Bawaslu, dan apabila pemohon belum puas atas keputusan mediasi, paslon dapat menempuh upaya selanjutnya dengan mengajukan sengketa penetapan pasangan calon di PTTUN. 

Hal berbeda dengan dugaan pelanggaran kode etik oleh KPUD, alur penyelesaian langsung oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), masyarakat, tim/ paslon dapat melapor langsung, setiap tindak tanduk, sikap, ucapan, prilaku dan perbuatan penyelenggaran pemilu bertentangan dengan netralitas/ keberpihakan terhadap salah satu pasangan dalam menjalankan tahapan bisa di laporkan untuk di beri sangsi. 

Sebagai langkah mengeleminir sengketa, upaya maksimal dari penyelenggara dalam menjalankan setiap tahapan harus dibuktikan dengan tindakan di lapangan, catatan-catan kecil/ kronologis suatu prestiwa, berita acara, foto atau vidio serta upaya-upaya koordinasi bersama stak holder terkait di buat dengan dokumentasi. 

Apabila penyelenggara dan pasangan calon sudah memahami prosedur dan mekanisme pencalonan sesuai aturan maka sengketa hukum atas pencalonan pilkada tahun 2020 baik oleh KPU dan pasangan calon bisa di minimalisir, dan apabila sebaliknya sengketa pencalonan tidak dapat dihindari oleh para pihak, setidaknya telah memahami strategi persiapan sengketa Pilkada. Penulis : ADVOCAT/ Mantan Komisioner KPU Pasaman Barat periode 2013 - 2018)

Membangun Pasaman Barat dari Demokrasi Akar Rumput (Pilbamnag)

By On Senin, Juli 06, 2020

OPINI

Oleh
Baldi Pramana, SH. MK.n

Sebagai salah satu perwujudan demokrasi pada tingkat  lokal, selain Pilkada pada tanggal 9 Desember tahun 2020, perhatian warga Kabupaten Pasaman Barat tertuju jua dengan adanya tahapan  Pemilihan Badan Musyawarah  Nagari (Pilbamnag). Meski pelaksanaannya tidak serentak pada hari dan tanggal yang sama seperti Pileg/ Pilkada, Pilbamnag  19 Nagari di Kabupaten Pasaman Barat dari segi periode sasi masa tugas tahun 2020-2026 mayoritas berbarengan di tahun ini. 
  
Sekalipun  demokrasi masyarakat akar rumput  Pilbamnag ternyata mempunyai ciri dan atmospir demokrasi sendiri, artinya, selain pelaksanaanya  opsional  sesuai Undang Undang Nomor  06 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa, Pilbamnag dimungkinkan melaui dua sistem pemilihan. Pertama, Pemilihan langsung oleh warga one man one vote ( satu orang satu suara) berbasis TPS lengkap dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sistem kedua Pilbamnag melalui sistem Pemilihan  perwakilan  yaitu (limited voter)  terbatas, hak suara hanya pada unsur atau  tokoh-tokoh  nagari yang  dimandatkan. 

Pilbamnag pasca disahkannya Undang-Undang Desa memasuki era baru sebagaimana pelaksanaanya opsional, mekanisme pencalonan anggota Bamus mengapung tidak dibatasi lagi oleh keterwakilan unsur Pemuda, Cadiak Pandai, Alim Ulama, Ninik Mamak dan Bundo Kanduang, melainkan skopnya diperluas dengan memberikan kesempatan kepada setiap individu yang telah memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota Bamus, tanpa  harus mewakili berbagai kepentingan, latar belakang, suku/klain dan kelompok. 

Sebagai  perwujutan demokrasi  tingkat akar rumput, benturan-benturan dari berbagai kepentingan tidak dapat dihindarkan, hal ini terjadi akibat adanya keyakinan bahwa hasil Pilbamnag mampu mengantarkan figur-figur terpilih untuk berkarir pada tingkat berikutnya  dalam konteks pemilihan atau terkorelasi untuk kepentingan politik bahkan  melalui pemilihan ini eksistensi  kekuasaan suatu keluarga secara turun temurun dipertaruhkan.

Pemerintahan Nagari sebagai miniatur atau pegejawantahan dari Pemerintahan Pusat di tingkat terbawah, oleh Undang-Undang terkait dengan pengisian keanggotaan Bamus juga telah berevolusi  dari sistim pemilihan tertutup dengan pola main tunjuk,  cin- chai, onko-ongko atau berpihak kepada kaum kerabat, dimana musyawarah hanya formalitas belaka, sedangkan proses   sepenuhnya disepakati dibelakang layar, bisa juga didudukkan di atas meja kedai kopi dan pertemuan-pertemuan kecil. 

Jangan  heran bila jalannya ronda pemerintahan datar-datar saja, semua bisa di selesaikan dibawah meja, Hampir-hampir tidak ada kontrol ( cek and blance) antara dua unsur Pemerintahan Nagari, yaitu Wali Nagari sebagai fungsi eksekutif dan Lembaga Bamus sebagai fungsi legislatif, akibatnya asaz-asaz pemerintahan berupa asaz keterbukaan, proporsonalitas, kepentingan umum, akuntabel, adil, dan lain-lain tidak tercapai. 

Keadaan Ini bukan tanpa sebab, pengisian   Kelembagaan Bamus  seharusnya  menjadi lembaga kontrol dan evaluasi atas jalannya Pemerintahan  Nagari tidak berjalan maksimal, Bamus sebagai pengawal ( body of guard) dari visi dan misi  Wali Nagari terpilih bekerja sendiri, fungsi budgeter ( pengawas penerimaan dan pemasukan anggaran/keuangan) dibiarkan saja, peran fasilitator  dan sosial  antara Pemerintah Nagari dengan warga tidak berjalan maksimal akibatnya banyak warga tidak mendapat perhatian. Bamus bisa melakukan intervensi  karena ada  tupoksi melekat pada diri anggota Bamus/Lembaga Bamus guna mengendalikan dan memantau  anggaran ADN/ ADD yang di kelola oleh Wali Nagari.   

Fungsi legislator dalam pembuatan Peraturan Nagari (Perna) sesuai  kearifan lokal dan kebutuhan nagari miskin gagasan, nyaris selama 6 tahun hanya satu atau dua jenis Perna saja dilahirkan, jika tidak Pernah tentang pengesahaan RAPN dan atau Perna Pertanggung jawaban tahunan Wali Nagari. Sebenarnya Perna  bisa dirumuskan bersama dengan Pemerintah Nagari  sebagai  acuan atau standar norma-norma untuk mewujudkan visi dan misi nagari, payung hukum apabila ada hal-hal mendesak dan strategis perlu diatur dengan Perna, seperti Perna tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Aset-aset Nagari atau Perna tentang Peneriman dan Bantuan  BLT/PKH, E- warung dan lain-lain.

Oleh karena, strategisnya fungsi dan peranaan Bamus dalam membangun suatu nagari, maka selayaknyalah dalam proses pemilihannnya  harus bertumpu pada pemberdayaan sumber daya manusia. Calon harus mempunyai  misi dan visi, baik ia sebagai person/kelembagaan, jelas sebagai konsep  pemberdayaan masyarakat nagari, bukan mengadu kelompok atau kepentingan barisan. persamaan sudut pandang dalam menentukan arah pembangunan  secara bersama  antara  warga, Wali Nagari, Camat dan Bupati lebih penting dibanding hanya sekedar numpang jabatan di nagari, menfasilitasi  aspirasi warga baik langsung atau tidak langsung sebagai  semangat dan jiwa sosial  dengan memberikan ruang dan kesempatan yang sama  bagi setiap warga guna terakses  oleh program-program yang ada, program pembangunan partisipatif, pelayanan prima, dan hak yang sama antar warga tanpa debeda-bedakan. 

Kesemua dafar inpentaris masalah  diatas berkaitan juga tugas bersama Bamus dengan Wali Wagari untuk menyelaraskan visi dan misi nagari dengan Pemerintah Kabupaten  agar  program tidak tumpang tindih dan terdata sebagai sebuah data base Program Pembangunan Jangka Menengah/ Panjang Nagari ( RPJMN/P). APBD sebagai salah satu sumber pendanaan  nagari dari Kabupaten untuk  penting untuk di cermati dan dipilah-pilah, memudahkan pendanaan dan berbagi tanggung jawab pembangunan. Kebijakan Pemerintah Pusat mengharuskan setiap perencanaan pembangunan di setiap tingkatan harus terdata dan tertata dalam sebuah dokumen lengkap, tidak ada lagi sisitem aspirasi titipan dewan sebagai istilah ada penumpang bus  naik ditengah  jalan tanpa tiket. 

Model pembangunan nagari juga penting di seimbangkan antara membangun fisik dan non fisik, melibatkan semua unsur dari berbagai kepentingan dan penerima manfaat pembangunan adalah langkah awal dan kunci sukses perencanaan program kerja, pelaksanaan dan evaluasi program. Akses jalan-jalan pertanian atau perkebunan penting tetapi jangan selalu menjadi prioritas utama masyarakat, bangunan fisik perlu di tupang oleh pembangunan mentalitas dan jiwa yang kokoh, pemikiran yang merdeka. Pelatihan-pelatihan keterampilan (life skill)  untuk warga miskin, non berpendidikan dan miskin sumberdaya lainnya menjadi perhatian bersama, sehingga mereka mempunyai modal meraih penghidupan pada sektor non pertanian/perkebunan.

Pembangunan di nagari juga berorientasi kepada keberlanjutan lingkungan dan sosial, tidak merusak dan ramah pada lingkungan, ini dapat pertimbangkan  sebagai konsep ekonomi kreatif rumah tangga, dan mendorong peluang usaha digitaliasi teknologi  yang telah banyak malahirkan anak-anak muda kreatif dan tajir, tidak mustahil apabila konsep pembangunan masa depan suatu nagari dipadukan dengan sistem pembangunan teknologi star up ( internet), meskipun tidak secepat kilat tetapi perlu juga dicita-citakan sebagai sebuah peluang usaha non covensional dan  ekonomi kearaiban lokal. 

Bila demikian adanya, maka Pilbamnag sebagai pintu reqruitmen legislator akar rumput, penggali gagasan, penyalur aspirasi, juga sebagai pengawal visi dan misi wali nagari bisa memajukan Kabupaten Pasaman Barat. Penjaringan Bamus harus  bertumpu pada sumber daya manusia dan kompetensi, supaya bisa bersinergi dan bahu membahu bersama Pemda  dalam membangun Kabupaten Pasaman Barat kearah yang lebih baik, transparan, berkeadilan serta bermartabat.  (Penulis : Pengamat Sosial, Politik dan Hukum Kabupaten Pasaman Barat)

Ini Beda Perayaan Idul Fitri 2020 Dibanding Tahun Sebelumnya di Pasbar.

By On Jumat, Mei 22, 2020

TERAS REDAKSI

Oleh :
Irti Zamin, SS

Secara umum, kodisi perayaan Idul Fitri 1441 H/ 2020 M, yang jatuh pada hari Ahat (Minggu, 1 Sawal / 24 Mei 2020), masih diselimuti suasana dampak Wabah Corona Virus Disease (Covid-19). Termasuk di Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).

Meskipun umat Islam di daerah ini dimungkinkan dapat melaksanakan Sholat Ied, karena daerah Pasbar tidak termasuk zona merah penularan Covid-19, namun rasa was-was dan kewaspadaan masih tetap jadi perhatian untuk antisipatif dan pencegahan. Sehingga aturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) masih harus dipedomani dan dilaksanakan.

Walau penjagaan di Posko Perbatasan Pasbar diperketat, namun masih banyak warga terutama dalam provinsi yang masih mudik dan pulang ke kampung halaman, dalam rangka bertemu pihak keluarga dan sanak famili di kampung. Kondisi ini juga menjadi perhatian dan diperlukan saling jaga dan antisipatif antar sesama untuk cegah Covid-19.

Terkait pelaksanaan Sholat ied tingkat kabupaten, dalam suatu kesempatan bertatap muka dengan Bupati Pasbar, H. Yulianto, ia memastikan bahwa tidak ada pemusatan pelaksanaan Sholat ied di halaman Kantor Bupati Pasbar. 

Biasanya seperti tahun sebelumnya, Shalat Ied dijadwalkan dan dipusatkan di halaman kantor bupati. Sehingga kesibukan pejabat dan panitia pun biasanya sudah tampak tiga hari jelang lebaran. Halaman kantor bupati dengan luasnya yang memadai memang menjadi pertimbangan untuk lokasi sholat Ied. 

Selain itu, perayaan Hari Raya Idul Fitri 1441 hijriah tahun 2020 ini di Pasbar, adalah kali pertama sejak Wafatnya Mantan Bupati Pasbat, Almarhum H. Syahiran, MM, pada 3 Agustus 2019 yang lalu. Seyogyanya Bupati H. Yulianto sebagai penerus kepemimpinan Almarhum H, Syahiran, berkemungkinan juga akan memusatkan pelaksanaan Ied di Halaman Kantor Bupati, namun karena wabah Covid-19, untuk menghindari tidak terejadi pengumpulan masyarakat dalam satu tempat, maka tahun ini tidak dilaksanakan.

Bupati H Yulianto juga menjelaskan, tidak ada pegelaran Open House seperti tahun sebelumnya. Intinya kegiatan hari raya tahun ini, sesuai juga dengan kebijakan pemerintah pusat yang tidak menambah hari libur atau cuti bersama, maka perayaan pun hanya sederhana saja dan tetap waspada dalam pencegahan Covid-19.

Bagi masyarakat pun turut merasakan perbedaan suasana perayaan Idul Fitri tahun ini.  Biasanya akan ada kunjungan temat wisata, namun kini ditutup sementara. Lagi pula juga kurang memungkinkan dari segi ekonomi karena semakin terpuruk akibat terdampak pengaruh wabah covid-19.

Begitupun biasanya momen Ramadhan jelang lebaran, banyak kegiatan buka bersama oleh pemerintah kabupaten yang dilanjutkan dengan ramah tamah dengan pimpinan daerah, bahkan tak jarang membawa pulang paket lebaran seperti kain sarung daln lainnya, tahun ini mungkin tak dijumpai lagi.

Namun tak heran juga bahwa di Kediaman Bupati Yulianto, tampak selalu ada kunjungan tamu, bagai tak pernah sepi dari kedatangan warga masyarakat. Dengan berbagai maksud dan tujuan, kegiatan silaturrahmi terbatas tetap berlangsung.

Suasana dampak ekonomi akibat wabah Covid-19, memang membuat sebagian besar masyarakat membutuhkan uluran tangan antar sesama. Tak heran kediaman Bupati Yulianto menjadi salah satu tujuan yang kerap dikunjungi warga, apalagi bupati saat ini merupakan pemimpin tunggal tanpa wakil bupati. Sehingga tujuan warga terfokus kepadanya. Kondisi ini memang nampaknya tak bisa dihindari, namun disinilah diperlukan kebijakan pimpinan dalam mencari solusi.

Suatu makna dibalik Covid-19 ini, dibutuhkannya kebersamaan dan kesatuan, rasa rendah diri dan tidak sombong, kepedulian antar sesama, instrofeksi diri dan meningkatkan ketaqwaan pada Allah SWT. 

Semoga wabah covid ini segera berakhir, dan masyarakat bisa beraktifitas dengan lancar, sektor usaha kembali bangkit dan pembangunan daerah kembali dipacu untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semoga. ****

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H
Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir Bathin

Mendata BLT harus De Joure & Defakto agar Tepat Sasaran

By On Jumat, Mei 22, 2020

OPINI

Oleh
Baldi Pramana, SH. MK.n

Wabah penyakit seperti virus corona disease 19 bukanlah kejadian baru di bumi  ini. Dalam catatan sejarah peradaban dunia, pandemi seperti ini sudah beberapa kali terjadi. Bumi pernah mengalami epidemi pada tingkat yang paling dahsyat, namun tidak dengan tingkat efect sebesar saat ini. Wabah covid 19 memukul semua sektor ekonomi, PHK besar-besaran di berbagai sub sektor usaha, baik industri atau manufaktur, sektor perkebunan dan pertanian membuat petani menderita dikarenakan harga dan hasil panen anjlok. Atas dasar wabah covid 19 berdampak sistemik bagi semua kehidupan Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan untuk meringankan beban warga dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai BLT. 

Payung hukum BLT terdampak Covid 19 merujuk pada Peraturan Menteri Desa (Nagari) dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendes PDTT) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020, ini menjadi dasar juridis dan implementatif Bantuan Langsung Tunai (BLT) tersebut.

Pemerintah menyebutkan siap mengucurkan dana senilai Rp 22,4 triliun untuk 12.487.646 kartu keluarga miskin. Besaran dana ini sesuai arahan Presiden, yaitu 31 persen dari total Dana Desa 2020, Rp 72 triliun. Yang menjadi target atau sasaran penerima BLT paling utama keluarga miskin non Program Keluarga Harapan (PKH) atau masyarakat yang menerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Selain itu, BLT juga akan diberikan pada keluarga yang belum mendapatkan manfaat Kartu Prakerja, kehilangan mata pencaharian, belum terdata bantuan pemerintah dan mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun atau kronis. 

Yang menjadi pertanyaannya bagaimana mekanisme pendataan, penetapan dan penyaluran program BLT Dana Desa (Nagari) sehingga  tertunda-tunda, dibeberapa daerah data penerima  sangkarut marut dan menuai protes. Bahwa mekanisme pendataan BLT Dana Desa (Nagari) dilakukan oleh Relawan Covid-19/petugas nagari. Mereka bertugas pada lingkup RT/Jorong untuk mengumpulkan kartu keluarga, setelah data terkumpul,  hasilnya dimusyawarahkan dengan Bamus nagari dalam agenda khusus atau musyawarah insidentil dengan agenda, yaitu validasi dan finalisasi data. 

Setelah dilakukan validasi dan finalisasi pendataan BLT Dana Desa (Nagari) selanjutnya ditandatagani oleh Wali Nagari, dari hasil verifikasi dokumen tersebut  dilaporkan kepada Bupati  melalui Camat. Permasalah baru timbul dan akan mengundang klaim warga ketika BLT yang akan di salurkan Pemda kepada sasaran  tidak valid, artinya warga banyak yang mengeluh disebabkan data calon penerima BLT banyak over lapping, warga yang meninggal dunia masih tercantum, keluarga secara status sosial belum layak untuk mendapatkan dan lain-lain. Atas dasar permasalahan pendataan, penulis mencoba mengurai akar problematika pendataan BLT Dana Desa (Nagari) sehingga tertunda oleh beberapa faktor.

Pertama, karena sistem informasi administrasi keluarga miskin/pra sejahtera / kependudukan yang dikelola oleh Pemerintah Daerah (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil/ Pemnag/ Dinsos) dan Kementerian Dalam Negeri (Direktorat Jendral Administrasi Kependudukan) Kementrian Sosial/ Kemendes PDTT)  belum dapat diandalkan/ tersedia, jikapun tersedia dari segi cakupan, kemutahiran dan akurasi sangat jauh dari kondisi real, maka jangan heran apabila banyak data perima PKH, BPNT, E- warung hingga kartu prakerja masuk dalam daftar penerima BLT. 

Kedua, perlunya dianut sistem pendataan keluarga miskin/prasejahtera berkelanjutan  (continuous register or list), dalam undang-undang harus ada pasal yang mengatur tentang pendataan dan status sosial warga sebagai hak dasar mendapatkan jaminan bernegara. Andai data ini ada sistem pendataan ini diharapkan menjamin akurasi dan ketersedian data, karena pendaftaran keluarga miskin/ prasejahtera tidak selalu dimulai dari data mentah, namun hanya melanjutkan dari data yang telah ada. Jika tidak di pastikan kejadian yang sama akan terulang pada kesempatan yang lain. 

Ketiga, untuk melaksanakan tugas pemutakhiran data keluarga miskin sebagaimana dengan sistem pendataan diatas, pemberian tugas dan kewenangan penuh Pemda kabupaten beserta aparatnya, dalam hal in Nagari sebagai ujung tombak untuk melakukan pemutakhiran data keluarga miskin/pra sejahtera setiap tahun berdasarkan sistem informasi data sebelumnya. 

Keempat, tersedianya anggaran dalam jumlah dan waktu yang ditentukan, sebab persoalan keluarga miskin/prasejahtera sangat rumit. Salah satu sebab masalah kurang akuratnya data keluarga miskin/prasejahtera adalah oleh  keterbatasan dana melakukan pemutakhiran data keluarga miskin/prasejahtera. Untuk itu selain ketersedian dana dan waktu, Undang-undang tentang keluarga miskin/ prasejahtera perlu juga mengamanatkan definisi siapa keluarga miski/ prasejahtera sehingga ada jaminan untuk tersedianya data yang akurat. 

Kelima, partisipasi warga dalam mengkoreksi data penerima BLT berkelanjutan pada papan pengumuman di kantor Wali Nagari sehingga ada kroscek data termutakhir. Akurasi data di antaranya ditentukan oleh respons berupa masukan dan tanggapan dari masyarakat nagari, data di akses sebagai keterbukaan informasi publik. Data di umumkan bisa juga sebagai data sementara penerima BLT jika ada tanggapan dan masukan dari warga maka tugas nagari guna meneksekusi pencoretan setelah ada verifikasi di lapangan.

Sekarang, keadaan ini sudah berjalan selama tiga bulan, warga  berada dalam penantian, resah dan banyak yang prustasi dengan pertanyaan kapan virus covid 19 ini berakhir, mereka berharap ada bantuan langsung tunai dari pemerintah agar asap dapurnya tetap ngebul. Keadaan ini sudah lama, sebagai respon cepat turunkan saja   data hasil pemutahiran penerima BLT terkahir dari nagari, dengan catatan data tersebut oleh petugas nagari/relawan covid 19 wajib di kroscek dan disandingkan ulang dengan data lain sebagaiman aturan teknis dimana ada skala prioritas artinya mereka  mendata keluarga miskin/prasejahtera,  keluarga yang belum mendapatkan manfaat Kartu Prakerja, kehilangan mata pencaharian, belum terdata bantuan pemerintah dan mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun atau kronis. 

Petugas  secara dejure dan de fakto memastikan jika baik secara hukum/aturan/petunjuk teknis/sop pemberian BLT keluarga itu layak, begitu juga secara de fakto (verifikasi faktual) bahwa mereka juga layak mendapatkan BLT, meski anggaran untuk itu terbatas dan tidak semua keluarga bisa tercover tetapi ada skala prioritas. (Penulis : Pemerhati masalah Sosial, Politik, Hukum dan Bisnis Kabupaten Pasaman Barat)

Menunggu Kalimat Damai dari Sang Ketua Dewan

By On Senin, Mei 04, 2020


OPINI
Oleh
Baldi Pramana, SH,MK.n
(Pemerhati Hukum, Sosial, Politik & Bisnis Pasbar)

"Bagi orang awam tidak memahami jika ada kode etik dan tata cara berprilaku di medsos. Sungguhpun demikian, mereka juga rakyatmu, butuh perhatian dan bimbingan sang ketua maka berdamailah."

Beberapa hari yang lalu kita, masyarakat Kabupaten Pasaman Barat dikejutkan dengan  pemberitaan   pelaporan dugaan tindak pidana pencermaran nama baik yang di alami oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) ke Polres Pasbar. Beliau juga merupakan Ketua Pengurus Daerah Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) Kabupaten Pasaman Barat, Bpk Ir. Parizal Hafni,

Sebagaimana dilansir (media online pasbar,klikpositif), ketua meradang  dan melaporkan empat akun facebook atas nama Abdillah Rasyid, Mahmudan Nasution, Afwan Alfarizi dan Zaza Sastra Wiraga dengan dugaan pencemaran nama baik. Hal ini terkait komentar mereka pada postingan facebook Group Mata Rakyat  Pasaman Barat (MRBP), tanggal 29/4/2020, keempat akun tersebut dinilai berkomentar tidak pada tempatnya dan telah menyerang kehormatan dengan menebar fitnah.

Saat ini sejumlah penggunaan facebook sebagai media  kontrol dalam penyampaian kritik dan saran terhadap penguasa telah banyak memakan korban. Dengan dalih pencemaran nama baik yang dapat membungkam warga awam yang miskin pengetahuan dan kode etik serta aturan bersosmed.

Sebagai warga Kabupaten Pasaman Barat tentu akan merasa khawatir dengan adanya pelaporan tersebut. Media sosial sebagai sarana menyampaikan kritik dan saran munngkin merasa dipertakut dengan kasus ini. 

Namun bagi warga yang lain justru merasa turut prihatin dan terdorong untuk nimbrung dalam membahas kasus ini. Mumpung tahun politik dinamikanya pun mengundangi magnet keingintahuan warga atas permasalahan kenapa  keempat orang tersebut dilaporkan ke Polres Pasaman Barat.

Adalah hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan hukum dari negara dan tindak pidana pencemaran nama baik adalah delik aduan. Untuk itu polisi baru akan melakukan proses hukum apabila ada pihak yang melapor  prestiwa pencemaran nama baik yang di alaminya.

Dalam Kitab Undang undang Hukum Pidana tindak pidana pencemaran nama baik diatur pada pasal 310 ayat 1 dan 2, jo pasal 27 ayat 3 yo pasal 45 ayat 3 Undang -Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang pada pokoknya delik pencemaran nama baik yaitu seseorang membuat penghinaan/ ujaran kebencian terhadap orang lain jatuhi pidana.

Meski telah mendapat jaminan & perlindungan hukum dari negara berupa hak untuk melaporkan suatu tindak pidana,  tetapi ketika persoalan dugaan pencemaran nama baik melibatkan warga negara biasa dengan pejabat negara akan terlihat menggelitik dan mungkin kurang elok.

Bagaimana nalar hukum bekerja ketika warga biasa dilaporkan ke penegak hukum akibat mengkritisi kinerja pejabat tersebut, bagaimana bisa seorang pejabat negara berkomunikasi dengan rakyat tanpa ada mekanisme di luar pengadilan. Apalagi sebagai pejabat publik dilahirkan dari masyarakat dan oleh karena masyarakat diharapkan tidak memempuh cara-cara rigit (kaku) dalam menyelesaikan masalah.

Sesuatu hal yang wajar di alam demokrasi jika ada aspirasi dari constituen (pemilih) tersampaikan dengan cara awam, tidak mengenakkan di hati. Dan sebagai orang lain dapat memahami sebagai bentuk dari konsep take and give (mengambil dan memberi) seorang figur publik baiknya berorientasi simbiosis mutualisma (atas hubungan yang saling menguntungkan) dalam dunia politik lumrah.

Jika menelaah waktu dan tempat pelaporan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik ini, hemat kami belum pada waktu dan tempatnya. Seharusnya ada mekanisme lain sebelum menempuh jalur hukum. Bila yang bersangkutan dirasa salah bisa saja diminta klarifikasinya terkait maksud komentarnya.

Yang bersangkutan juga dapat diberi kesempatan untuk minta maaf  apabila salah (somasi). Bahwa gaya berkomunikasi setiap pejabat negara berbeda-beda satu dengan yang lainnya di pengaruhi oleh karaktek, sikon juga strategi berkomunikasi setiap mereka.

Dalam kasus ini sang ketua lebih menerapkan pola pendekatan hukum dari pada pendekatan pendidikan sosial politik dengan menomor duakan mediasi atau musyawarah. Artinya berhadapan dua pihak yang secara status sosial berbeda. Pilihan ini bukan tanpa dasar disamping karena kejadian ini terjadi pada saat umat muslim sedang khusuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1414 H juga persoalan wabah covid 19 sedang melada kita.

Sekarang, kasus ini sudah berada di tangan aparat penegak hukum. Polisi akan melakukan penyelidikan dan penyidikan guna menentukan apakah suatu dugaan tindak pidana memenuhi unsur-unsur atau sebaliknya. Polisi akan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup.

Tugas aparat penegak hukum menemukan unsur-unsur pidana dan saling keterkaitan antara tindakan dengan pasal penghinaan yaitu berupa : unsur kesengajaan, menyerang kehormatan/ nama baik/ menuduh suatu perbuatan dan menyebarkan informasi. Secara teknis penyelidikan dan penyidikan guna mentukan apakah ada unsur tindak pidana polisi mencari alat bukti bukti dapat berupa scren shoot, foto, akun fb, teks, HP, dan dokumen terkait lain.   

Untuk itu, mumpung  ini bulan Ramadhan 1441 H kesucian dan barokahnya tidak bisa dipungkiri barokallahi lil alamin pahala di bulan ini berlimpah ruah. Maka seyoknyalah kita menghindari perselisihan antar sesama muslim.

Bukankah puasa juga mengajarkan kepada kita untuk saling menahan diri dari hawa nafsu yang akan membatalkan puasa, fitnah, dengki atau saling menghujat harus kita hindari. Bulan ini juga madrasyah jasmani dan rohani untuk saling menahan emosi.

Dimasa-masa sulit seperti ini kita pun sedang berjuang menanggulangi wabah corona 19. Tekanan hidup semakin tinggi, kebutuhan pokok sebagian besar warga tidak mencukupi dan bisa saja salah satu pihak sedang mengalami hal ini.

Mereka dengan fulgar tanpa filter berkomentar ingin diperhatikan oleh pemerintah. Disini mengeluarkan ungkapan dalam bentuk komentar atau postingan di medsos. 

Bagi orang awam tidak memahami jika ada kode etik dan tata cara berprilaku di medsos. Sungguhpun demikian, mereka juga rakyatmu, butuh perhatian dan bimbingan sang ketua, maka berdamailah. ****( Penulis : Baldi Pramana, Hp : 082169220161)

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *