HEADLINE NEWS

Wartawan TV dan Media Nasional Dikorbankan, Pidana Penyiaran dan UU Pers Terabaikan

By On Kamis, Juni 24, 2021

 OPINI & PERSPEKTIF

 Oleh :
Heintje G. Mandagie
(Penulis : Ketua LSP Pers Indonesia / Ketua DPP SPRI) 

BEBERAPA tahun belakangan ini insan pers terbelah menjadi dua kelompok. Wartawan konstituen dan non kostituen Dewan Pers. Bagi kelompok non konstituen sepertinya sudah lama sadar dan memilih memisahkan diri dari Dewan Pers dan menentang perlakuan diskriminatif dan kesewenangan Dewan Pers. Tak heran kelompok wartawan ini, termasuk penulis, bersikap menolak kebijakan Dewan Pers karena sudah paham betul selama bertahun-tahun telah dijadikan objek bisnis UKW ilegal Dewan Pers. 


Lantas bagaimana dengan wartawan kelompok konstituen Dewan Pers? 


Kelompok ini sepertinya belum mau sadar dari tidur panjangnya. Sudah ternina-bobokan oleh alunan merdu suara seirama Dewan Pers dan para kaki-tangannya. 


Sayangnya, kelompok ini masih saja terlena dan bangga menyandang status konstituen Dewan Pers. Wajar saja karena terbawa arus kemudahan meraih lembar rejeki saat berada di kancah peliputan. Tidak ada yang salah pada kondisi ini.


Namun faktanya, tidak sedikit wartawan TV dan Media Nasional terpaksa, maaf, menjual idealisme untuk sekedar menjaga asap dapur dan memenuhi gaya hidupnya dengan menerima amplop dari nara sumber. Sudah menjadi rahasia umum praktek itu terjadi di seluruh Indonesia. 


Di satu sisi, kelompok ini, dimotori Dewan Pers, selalu membuat stigma negatif terhadap wartawan kelompok non konstituen dengan sebutan aba-abal dan menerima imbalan dalam menjalankan tugas jurnalistik.  Di sisi lainnya, kenyataan di lapangan praktek yang sama juga berlaku bagi wartawan media mainstream. 


Untuk membuktikan hal itu benar terjadi, maka penulis sudah melakukan riset di lapangan berdasarkan besaran gaji wartawan media mainstream. Hampir di seluruh Indonesia wartawan media mainstream menggaji wartawan tidak lebih dari Upah Minimum Provinsi atau UMP untuk level reporter. Bahkan ada banyak pula yang masih di bawah UMP.  


Lebih miris lagi, sebagian besar wartawan TV nasional yang bertugas di daerah tidak digaji bulanan namun hanya berdasarkan jumlah perolehan berita yang ditayangkan medianya. 


Sudah begitu tidak ada yang sadar bahwa Undang-Undang Penyiaran sangat jelas mengatur tentang kesejaheraan karyawan lembaga penyiaran swasta termasuk wartawan di dalamnya. 


Pada Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, menyebutkan :  “Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan.” Pasal ini mengatur tentang kesejahteraan wartawan dan karyawan TV wajib diberikan pembagian laba perusahaan. Bahkan pelanggaran terhadap pasal ini akan dikenakan pidana penjara dan denda uang. 


Pada Pasal 57 UU Penyiaran menyebutkan : “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang: a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3).”

 Heintje Mandagi, di tengah, diapit para asesor kompetensi wartawan LSP Pers Indonesia


Pada kenyataannya, hampir seluruh wartawan yang bekerja di lembaga penyiaran swasta diduga tidak diberikan haknya untuk mendapatkan pembagian laba perusahaan. Padahal berdasarkan riset AC Nielsen, media Televisi paling besar mendapatkan porsi belanja iklan nasional  yang tidak pernah kurang dari 100 triliun rupiah setiap tahunnya sejak tahun 2015. 


Seharusnya laba bersih triliunan rupiah media TV sebagiannya wajib dibagi kepada wartawan dan karyawan TV  sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Penyiaran. Jika itu dilanggar maka sanksi pidana 5 tahun dan denda 10 milyar rupiah harus dikenakan kepada pimpinan perusahaan lembaga penyiaran swasta yang tidak pernah memberikan kewajiban tersebut. 


Sampai hari ini belum ada sikap dari Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI untuk menegakan aturan pada pasal 17 Ayat (3) dan Pasal 57 huruf a pada Undang-Undang Penyiaran ini. Hak-hak wartawan dan karyawan tidak diperjuangkan meski ada aturan dan sanksi pidana 5 tahun penjara dan denda 10 milyar rupiah bagi perusahaan yang mengabaikannya. 


Bagaimana dengan perusahaan pers? Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga mengatur tentang kesejahteraan wartawan. Meski tidak ada sanksi yang mengatur jika perusahaan pers mengabaikannya. 

Pada pasal 10 UU Pers jelas menyebutkan: “Perusahaan Pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. 


Sayangnya wartawan konstituen Dewan Pers yang selama ini berlindung dan bangga pada Dewan Pers tidak sadar dibiarkan menjadi “Pengemis Sakti” dalam menjalankan profesinya. Pada kondisi ini penulis teringat dengan judul lagu lawas “ Tidak ada dusta di antara kita”. 


Apa dampak dari kondisi ini, solidaritas pers nyaris mati di antara kedua kelompok ini. Ketika salah satu wartawan anggota kelompok non konstituen menjadi korban kekerasan atau diskriminasi, kelompok lainnya merespon dingin dan seolah hanya sekedar informasi biasa saja. 


Akan halnya kejadian wartawan Marasalem Harahap, Pimred media Laser News di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, tewas ditembak oleh orang tak dikenal. Tapi peristiwa besar itu tidak diekspose secara besar-besaran oleh media TV nasional. Seharusnya penembakan terhadap wartawan yang mengancam kebebasan pers menjadi isu menarik untuk diangkat agar mengundang reaksi Presiden RI Joko Widodo untuk bicara. Namun sayangnya, Media TV Nasional enggan memberitakannya. 


Karena jika terus dieksploitasi menjadi isu nasional maka kebobrokan dewan Pers yang dulu pernah ikut terlibat membiarkan korban dipenjara karena berita makin terungkap. 


Media TV sepertinya sudah terbiasa lebih tertarik memuat berita jika peristiwanya sodomi atau mutilasi anak secara berulang-ulang, ketimbang mengungkap peristiwa penembakan wartawan yang mengancam kebebasan pers dan menimbulkan ketakutan di kalangan wartawan yang aktif melakukan sosial kontrol. 


Belum lama ini juga ada peristiwa menggemparkan di Gorontalo, seorang Kepala Dinas Kominfo yang menjabat Ketua Asosiasi Kepala Dinas Kominfo se Indonesia digrebek polisi sedang berduaan dengan isteri orang di dalam sebuah kamar kos dan diliput oleh media. Namun sayangnya berita itu luput dari perhatian media TV nasional. Padahal, pelakunya adalah ketua asosiasi berlevel nasional. 


Usut punya usut, ternyata Dewan Pers justeru termakan upaya menghalangi penyidikan kasus ini. Secara mengejutkan Dewan Pers menerima laporan pengaduan dari Haris Tome sang pelaku yang ditangkap polisi sedang berada di dalam sebuah kamar kos bersama isteri orang. Lebih parah lagi, berita peristiwa penegakan hukum penggrebekan polisi yang merupakan fakta peristiwa operasi justitia Polres Kota Gorontalo malah dinilai dewan Pers sebagai pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh sejumlah media di Gorontalo. 


Dewan Pers secara sewenang-wenang dan tidak profesional menjatuhkan rekomendasi kepada seluruh media yang menjadi teradu agar membuat permintaan maaf kepada pengadu Haris Tome yang nota bene sebagai terlapor dugaan berzinah dan berselingkuh dengan isteri orang dan kasusnya masih ditangani pihak Polres Kota Gorontalo. Padahal kasus tersebut statusnya belum di SP3 meski penyidik menyatakan belum cukup bukti pada tahap penyelidikan. 


Akibat dari rekomendasi Dewan Pers, tiga media yang tidak bersedia memuat permintaan maaf dilaporkan oleh Haris Tome ke polisi dengan tuduhan fitnah, menyebarkan berita hoax, dan mencemarkan nama baiknya. 


Bagaimana mungkin peristiwa penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian dituding sebagai berita hoax dan fitnah. Seharusnya petugas polisi yang melakukan penggrebekan dan Kepala Polres yang menjadi nara sumber berita itu dijadikan terlapor karena menyampaikan informasi tersebut kepada wartawan saat dikonfirmasi.


Upaya kriminalisasi terhadap wartawan ini pun luput dari perhatian media TV nasional. Padahal, isunya penting bahwa pelapornya Haris Tome adalah Ketua Asosiasi Kadis Kominfo se-Indonesia yang berusaha mengkriminalisasi wartawan.  Pembelaan terhadap pers yang dikiriminalisasi tidak ada sama sekali oleh media nasional. Solidaritas mati karena wartawan Indonesia terbelah dua kelompok. 


Pada kondisi ini Dewan Pers gagal total dalam menjalankan amanah sebagaimana diatur dalam UU Pers. Pasal 15 Ayat 1 menyebutkan : “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.”


Menyikapi hal ini, penulis perlu mengingatkan kepada seluruh anggota dan pendukung Dewan Pers, kembalilah pada jalan yang benar. Segera hentikan kerusakan sistem dalam pers Indonesia. 


Undang-Undang tidak memberikan kewenangan satu pun kepada Dewan Pers untuk membuat peraturan di bidiang pers. Pasal 15 Ayat (2) huruf F yang selama ini digunakan Dewan Pers sebagai dasar hukum nenerbitkan atau mengeluarkan peraturan di bidang pers sesungguhnya telah mengambil hak dan kewenangan organisasi-organisasi pers sebagaimana diatur dalam )asal 15 Ayat (2) huruf f UU Pers : “Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.”


Kalimat di atas jelas kewenangn menyusun peraturan pers ada pada organisasi pers. Anak SMU juga pasti paham dengan kalimat ini. UU Pers hanya memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. 


Dan untuk memastikan tentang penafsiran Dewan Pers yang keliru terhadap pasal penyusunan peraturan di bidang pers ini maka dalam waktu dekat ini penulis bersama-sama dengan sejumlah tokoh pers akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Tujuannya agar Dewan Pers berhenti melakukan pembodohan publik dan membuat kebijakan dan tindakan yang bertentangan dengan hukum dan mencederai kemerdekaan pers. ***(Penulis : Ketua LSP Pers Indonesia / Ketua DPP SPRI) 


Membangun Pasaman Barat dari Demokrasi Akar Rumput (Pilbamnag)

By On Senin, Juli 06, 2020

OPINI

Oleh
Baldi Pramana, SH. MK.n

Sebagai salah satu perwujudan demokrasi pada tingkat  lokal, selain Pilkada pada tanggal 9 Desember tahun 2020, perhatian warga Kabupaten Pasaman Barat tertuju jua dengan adanya tahapan  Pemilihan Badan Musyawarah  Nagari (Pilbamnag). Meski pelaksanaannya tidak serentak pada hari dan tanggal yang sama seperti Pileg/ Pilkada, Pilbamnag  19 Nagari di Kabupaten Pasaman Barat dari segi periode sasi masa tugas tahun 2020-2026 mayoritas berbarengan di tahun ini. 
  
Sekalipun  demokrasi masyarakat akar rumput  Pilbamnag ternyata mempunyai ciri dan atmospir demokrasi sendiri, artinya, selain pelaksanaanya  opsional  sesuai Undang Undang Nomor  06 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa, Pilbamnag dimungkinkan melaui dua sistem pemilihan. Pertama, Pemilihan langsung oleh warga one man one vote ( satu orang satu suara) berbasis TPS lengkap dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sistem kedua Pilbamnag melalui sistem Pemilihan  perwakilan  yaitu (limited voter)  terbatas, hak suara hanya pada unsur atau  tokoh-tokoh  nagari yang  dimandatkan. 

Pilbamnag pasca disahkannya Undang-Undang Desa memasuki era baru sebagaimana pelaksanaanya opsional, mekanisme pencalonan anggota Bamus mengapung tidak dibatasi lagi oleh keterwakilan unsur Pemuda, Cadiak Pandai, Alim Ulama, Ninik Mamak dan Bundo Kanduang, melainkan skopnya diperluas dengan memberikan kesempatan kepada setiap individu yang telah memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota Bamus, tanpa  harus mewakili berbagai kepentingan, latar belakang, suku/klain dan kelompok. 

Sebagai  perwujutan demokrasi  tingkat akar rumput, benturan-benturan dari berbagai kepentingan tidak dapat dihindarkan, hal ini terjadi akibat adanya keyakinan bahwa hasil Pilbamnag mampu mengantarkan figur-figur terpilih untuk berkarir pada tingkat berikutnya  dalam konteks pemilihan atau terkorelasi untuk kepentingan politik bahkan  melalui pemilihan ini eksistensi  kekuasaan suatu keluarga secara turun temurun dipertaruhkan.

Pemerintahan Nagari sebagai miniatur atau pegejawantahan dari Pemerintahan Pusat di tingkat terbawah, oleh Undang-Undang terkait dengan pengisian keanggotaan Bamus juga telah berevolusi  dari sistim pemilihan tertutup dengan pola main tunjuk,  cin- chai, onko-ongko atau berpihak kepada kaum kerabat, dimana musyawarah hanya formalitas belaka, sedangkan proses   sepenuhnya disepakati dibelakang layar, bisa juga didudukkan di atas meja kedai kopi dan pertemuan-pertemuan kecil. 

Jangan  heran bila jalannya ronda pemerintahan datar-datar saja, semua bisa di selesaikan dibawah meja, Hampir-hampir tidak ada kontrol ( cek and blance) antara dua unsur Pemerintahan Nagari, yaitu Wali Nagari sebagai fungsi eksekutif dan Lembaga Bamus sebagai fungsi legislatif, akibatnya asaz-asaz pemerintahan berupa asaz keterbukaan, proporsonalitas, kepentingan umum, akuntabel, adil, dan lain-lain tidak tercapai. 

Keadaan Ini bukan tanpa sebab, pengisian   Kelembagaan Bamus  seharusnya  menjadi lembaga kontrol dan evaluasi atas jalannya Pemerintahan  Nagari tidak berjalan maksimal, Bamus sebagai pengawal ( body of guard) dari visi dan misi  Wali Nagari terpilih bekerja sendiri, fungsi budgeter ( pengawas penerimaan dan pemasukan anggaran/keuangan) dibiarkan saja, peran fasilitator  dan sosial  antara Pemerintah Nagari dengan warga tidak berjalan maksimal akibatnya banyak warga tidak mendapat perhatian. Bamus bisa melakukan intervensi  karena ada  tupoksi melekat pada diri anggota Bamus/Lembaga Bamus guna mengendalikan dan memantau  anggaran ADN/ ADD yang di kelola oleh Wali Nagari.   

Fungsi legislator dalam pembuatan Peraturan Nagari (Perna) sesuai  kearifan lokal dan kebutuhan nagari miskin gagasan, nyaris selama 6 tahun hanya satu atau dua jenis Perna saja dilahirkan, jika tidak Pernah tentang pengesahaan RAPN dan atau Perna Pertanggung jawaban tahunan Wali Nagari. Sebenarnya Perna  bisa dirumuskan bersama dengan Pemerintah Nagari  sebagai  acuan atau standar norma-norma untuk mewujudkan visi dan misi nagari, payung hukum apabila ada hal-hal mendesak dan strategis perlu diatur dengan Perna, seperti Perna tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Aset-aset Nagari atau Perna tentang Peneriman dan Bantuan  BLT/PKH, E- warung dan lain-lain.

Oleh karena, strategisnya fungsi dan peranaan Bamus dalam membangun suatu nagari, maka selayaknyalah dalam proses pemilihannnya  harus bertumpu pada pemberdayaan sumber daya manusia. Calon harus mempunyai  misi dan visi, baik ia sebagai person/kelembagaan, jelas sebagai konsep  pemberdayaan masyarakat nagari, bukan mengadu kelompok atau kepentingan barisan. persamaan sudut pandang dalam menentukan arah pembangunan  secara bersama  antara  warga, Wali Nagari, Camat dan Bupati lebih penting dibanding hanya sekedar numpang jabatan di nagari, menfasilitasi  aspirasi warga baik langsung atau tidak langsung sebagai  semangat dan jiwa sosial  dengan memberikan ruang dan kesempatan yang sama  bagi setiap warga guna terakses  oleh program-program yang ada, program pembangunan partisipatif, pelayanan prima, dan hak yang sama antar warga tanpa debeda-bedakan. 

Kesemua dafar inpentaris masalah  diatas berkaitan juga tugas bersama Bamus dengan Wali Wagari untuk menyelaraskan visi dan misi nagari dengan Pemerintah Kabupaten  agar  program tidak tumpang tindih dan terdata sebagai sebuah data base Program Pembangunan Jangka Menengah/ Panjang Nagari ( RPJMN/P). APBD sebagai salah satu sumber pendanaan  nagari dari Kabupaten untuk  penting untuk di cermati dan dipilah-pilah, memudahkan pendanaan dan berbagi tanggung jawab pembangunan. Kebijakan Pemerintah Pusat mengharuskan setiap perencanaan pembangunan di setiap tingkatan harus terdata dan tertata dalam sebuah dokumen lengkap, tidak ada lagi sisitem aspirasi titipan dewan sebagai istilah ada penumpang bus  naik ditengah  jalan tanpa tiket. 

Model pembangunan nagari juga penting di seimbangkan antara membangun fisik dan non fisik, melibatkan semua unsur dari berbagai kepentingan dan penerima manfaat pembangunan adalah langkah awal dan kunci sukses perencanaan program kerja, pelaksanaan dan evaluasi program. Akses jalan-jalan pertanian atau perkebunan penting tetapi jangan selalu menjadi prioritas utama masyarakat, bangunan fisik perlu di tupang oleh pembangunan mentalitas dan jiwa yang kokoh, pemikiran yang merdeka. Pelatihan-pelatihan keterampilan (life skill)  untuk warga miskin, non berpendidikan dan miskin sumberdaya lainnya menjadi perhatian bersama, sehingga mereka mempunyai modal meraih penghidupan pada sektor non pertanian/perkebunan.

Pembangunan di nagari juga berorientasi kepada keberlanjutan lingkungan dan sosial, tidak merusak dan ramah pada lingkungan, ini dapat pertimbangkan  sebagai konsep ekonomi kreatif rumah tangga, dan mendorong peluang usaha digitaliasi teknologi  yang telah banyak malahirkan anak-anak muda kreatif dan tajir, tidak mustahil apabila konsep pembangunan masa depan suatu nagari dipadukan dengan sistem pembangunan teknologi star up ( internet), meskipun tidak secepat kilat tetapi perlu juga dicita-citakan sebagai sebuah peluang usaha non covensional dan  ekonomi kearaiban lokal. 

Bila demikian adanya, maka Pilbamnag sebagai pintu reqruitmen legislator akar rumput, penggali gagasan, penyalur aspirasi, juga sebagai pengawal visi dan misi wali nagari bisa memajukan Kabupaten Pasaman Barat. Penjaringan Bamus harus  bertumpu pada sumber daya manusia dan kompetensi, supaya bisa bersinergi dan bahu membahu bersama Pemda  dalam membangun Kabupaten Pasaman Barat kearah yang lebih baik, transparan, berkeadilan serta bermartabat.  (Penulis : Pengamat Sosial, Politik dan Hukum Kabupaten Pasaman Barat)

Tak Ingin Langgar Aturan Pilkada, Isyarat Kuat Bupati Hamsuardi Maju Periode Kedua

By On Sabtu, Maret 30, 2024

 

 OPINI


Oleh :
IRTI ZAMIN, SS   *)


MASIH ingat, beberapa hari lalu, ramai pemberitaan terkait  pembatalan pelantikan 51 orang pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman Barat oleh Bupati Hamsuardi. Hal itu dikarenakan pelantikan yang terlanjur dilakukan pada Jumat (22/3/2024), ternyata dihitung ulang melewati batas kewenangan sehingga hari itu juga dilakukan pembatalan.
  


Batas kewenangan yang dimaksudkan adalah sesuai UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati dan wali kota pasal 71 ayat 2, mengamanatkan larangan kepala daerah melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. 

 

Kemudian pada pasal 3 dinyatakan bahwa  Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

 

Sementara,  sesuai Peraturan KPU (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024, jadwal penetapan pasangan calon adalah 22 September 2024. Artinya bahwa pelantikan dan pergantian pejabat oleh  kepala daerah yang akan mencalon, diperkirakan terakhir tanggal 21 Maret 2024, sebelum memasuki waktu 6 bulan, walaupun hingga saat ini belum ada surat edaran dari Kemendagri terkait hal itu.

 


Namun berdasarkan analisa tersebut, kebijakan bupati Pasbar melakukan pembatalan pelantikan 11 eselon III, 16 orang eselon IV dan 24 orang kepala sekolah SDN dan SMPN di Pasbar, dinilai sudah tepat agar tidak berpotesi melanggar UU NO 10 Tahun 2016 dan PKPU 15 Tahun 2017. 

HAMSUARDI, Bupati Pasaman Barat


Cuma, barangkali yang disayangkan adalah kekurang telitian dan kekurang cermatan instansi terkait dalam menghitung bulan atau tanggal sehingga tak pelak, kondisi ini sedikit membuat gaduh juga. 

 

Namun dapat dibaca, kebijakan Bupati tersebut yang membatalkan pelantikan, merupakan isyarat kuat bahwa Bupati Hamsuardi akan maju kembali untuk periode kedua pada Pilkada 2024. Sehingga, ia tidak ingin nantinya bermasalah karena disebut melanggar peraturan yang berlaku,

 

Sebab, jika melanggar ketentuan di atas, terancam terkena sanksi pembataan sebagai calon. Hal ini sesuai dengan pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2016, yang berbunyi, "Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

 

Tidak saja sanksi administrasi, bahkan terdapat sanksi pidana, sebagimana pasal 190 (sanksi pasal 71 ayat (2) dan Pasal 162 ayat (3) bahwa pejabat yang melanggar ketentuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

 

Dari aturan tersebut, jika calon petahana tetap melanjutkan rotasi atau pelantikan pejabat pada 22 Maret 2024 atau enam bulan sebelum berakhir masa jabatan atau penetapan calon di Pilkada 2024, sanksinya bisa berupa tidak diikutkan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

 

Sebab, kemungkinannya nanti akan ada sanksi berupa penetapan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU ketika mendaftar sebagai calon bupati maupun wakil bupati. Kecuali ada izin Kemendagri, maka akan gugurlah sanksi tersebut. 


Mengacu pada ketentuan tersebut, maka kebijakan Bupati Hamsuardi yang membatalkan pelantikan 51 pejabat itu merupakan respon yang cepat dan tepat serta tegas. Karena ia tidak ingin melanggar aturan Pilkada. 


( *) Penulis : Pimpinan Pro Pers Group/ Ketua DPC. SPMI (Serikat Praktisi Media Indonesia) Kabupaten Pasaman Barat)

Kuburan “Roh” Kemerdekaan Pers di Tengah Uji Materi UU Pers

By On Minggu, November 28, 2021

 OPINI

Oleh :
Heintje Mandagi
 Ketua Dewan Pers Indonesia

BARU-baru ini ‘Kuburan’ Kemerdekaan Pers kembali terisi ‘jasad’ karya jurnalistik. Kali ini ‘batu nisan’ kemerdekaan pers  itu bertuliskan nama Muhammad Asrul, wartawan media online Berita.News yang divonis bersalah dengan hukuman pidana 3 bulan penjara akibat karya jurnlistik. 


‘Roh’ kebebasan pers milik Asrul ini pada akhirnya menyatu dengan jasad Udin wartawan Bernas dan Muhammad Yusuf wartawan Kemajuan Rakyat. 


‘Kuburan’ kemerdekaan pers milik Torozidu Lahia, wartawan Harian Berantas yang belum juga kering, kini sudah terisi lagi ‘jasad’ kemerdekaan pers milik Asrul. Kasus kriminalisasi pers yang dialami keduanya itu seolah –olah menyatu dengan ratusan ‘Roh’ kebebasan pers milik wartawan di berbagai penjuru tanah air yang terkubur di ‘pekuburan’ umum Kemerdekaan Pers Indonesia yang dibangun penguasa tunggal bernama Dewan Pers. 


Berkaca dari kasus Torozidu Lahia, wartawan Harian Berantas yang memberitakan kasus korupsi Bupati Bengkalis, justeru dihadiahi PPR Dewan Pers yang menyatakan media Harian Berantas tidak terverifikasi Dewan Pers dan Torozidu belum mengikuti Uji Kompetensi Wartawan. Dan dengan entengnya Dewan Pers merekomendasi penyelesaian perkara tersebut dapat dilakukan di luar Undang-Undang Pers. 


Ujung-ujungnya Torozidu dipejara, meskipun kemudian dinyatakan bebas murni. Namun sang Bupati Bengkalis akhirnya terbukti korupsi dan ditangkap KPK, serta divonis bersalah dan dihukum penjara sesuai perbuatannya sebagaimana apa yang pernah ditulis Torozidu di Harian Berantas. Ini bukti tulisan berita Torozidu benar tapi diganjar PPR Dewan Pers melanggar kode etik. 


Di penghujung 2018 lalu, almarhum Muhamad Yusuf, wartawan Kemajuan Rakyat dan Sinar Pagi Baru pun mengalami nasib yang sama diproses hukum pidana di luar UU Pers setelah PPR Dewan Pers diterbitkan. Yusuf tewas dalam tahanan. Meregang nyawa dalam status sebagai tersangka akibat karya jurnalistiknya. Kasus serupa juga dialami ratusan wartawan di berbagai daerah.


Kasus di atas memang berbeda dengan apa yang dialami Muhammad Asrul. Dewan Pers melakukan pembelaan dan menyatakan kasus Asrul harus diproses menggunakan UU Pers. Namun, polisi dan jaksa tetap meneruskan kasus tersebut hingga ke pengadilan. Dewan Pers pun menghadirkan saksi ahli. Namun majelis hakim tetap memvonis Asrul bersalah dan dipidana 3 bulan penjara. 


Lantas apa yang dilakukan Dewan Pers pasca putusan vonis Asrul tersebut adalah membuat surat pernyataan keprihatinannya. Tidak ada langkah luar biasa untuk mengatasi persoalan serius terkuburnya kemerdekaan pers ini. Isi surat pernyataan Dewan Pers terkait kasus Asrul tidak ada menyebutkan perjuangan organisasi pers tempat Asrul bernaung. Seakan-akan semua hanya mengenai Dewan Pers. Polisi, jaksa, dan hakim yang terlibat perkara Asrul ini seharusnya dilaporkan ke lembaganya masing-masing untuk diberi sanksi karena tidak profesional menangani perkara pers. 


Faktanya juga, organisasi pers tidak hadir di kasus Asrul. Padahal sebagai wartawan, Asrul wajib dilindungi oleh organisasi pers tempat dia bernaung. Hal itu karena organisasi pers tidak diberi ruang sedikitpun untuk mendampingi atau membela kepentingan Asrul di Dewan Pers. 


Ketika Asrul dilaporkan, Organisasi Pers tidak hadir. Dewan Pers yang maju sebagai pahlawan. Tapi sayangnya rekomendasi  Dewan Pers terlalu ‘banci’ dan maaf ‘abal-abal’ alias tak berkualitas. UU Pers sudah jelas Lex Specialis. Jadi, ketika wartawan dilaporkan, harus ada tindakan tegas memita kepolisian menghentikan penyidikan dan melimpahkan penanganan perkara pers ke Dewan Pers. 


Sebagaimana  lazimnya penanganan perkara dilimpahkan ke tingkatan yang sesuai dengan lokasi kejadian. Hal itu pun seharusnya berlaku di perkara pers. Karena kewenangan itu ada di Dewan Pers untuk menyelesaikan perkara pers, maka pihak kepolisian wajib melimpahkan berkas perkara ke Dewan Pers. 


Apapun alasan kepolsian untuk menerima aduan perkara pers dibalut UU ITE harus dihormati tapi perlu dikritisi. Karena Pers memiliki UU Pers yang melindungi kemerdekaan pers sebagai wujud perlindungan hakiki terhadap hak asazi manusia yang diakui dunia internasional. Tak heran Indonesia selalu berada di urutan menengah ke bawah dalam hal kebebasan pers internasional. 


Jika sekelas Dewan Pers tunduk kepada Kepolisian, padahal penanganan perkara pers adalah kewenangannya, maka apa gunanya Dewan Pers hadir sebagai lembaga independen jika tidak mampu bersikap menjalankan amanah UU Pers. 


MOU Dewan Pers dengan Polri sesungguhnya adalah bentuk pelecehan terhadap UU Pers. Pers seolah mengemis perlindungan hukum kepada polisi yang jelas-jelas hal itu adalah kewajiban Polri memberi jaminan perlindungan hukum kepada setiap warga negara. 


Organisasi pers yang menjadi induk pembinaan dan perlindungan pers sudah dirampas haknya oleh supremasi Dewan Pers. Setiap kasus perkara pers, tidak ada organisasi pers yang dihadirkan untuk melakukan pembelaan dan pembinaan, atau bahkan melewati tahapan sidang majelis kode etik di masing-masing organisasi pers sebagai wadah tempat wartawan bernaung dan berlindung. 


Mediator ‘abal-abal’ yang dihadirkan Dewan Pers dalam menangani aduan pers pun hampir seluruhnya tidak bersertifikat resmi sebagai mediator. Padahal setiap mediator harus bersertifikat dan disahkan Pengadilan. Akibatnya, wartawan yang menjadi pihak teradu selalu berada pada posisi lemah dalam penanganan perkara pers. 


Seharusnya penyelesaian perkara pers bukan PPR Dewan Pers yang jadi hasil akhir. Namun harus berdasarkan kesepakatan antara pengadu dan teradu. Bukan keputusan penilaian Dewan Pers. Itulah fungsi mediator dalam penanganan perkara pers agar tidak ada kriminalisasi pers. 


Dewan Pers juga, faktanya,  tidak membuka akses bagi masyarakat yang dirugikan akibat pemberitaan di seluruh Indonesia untuk menampung pengaduan. Dampaknya, warga masyarakat yang dirugikan pers terpaksa harus mengadu atau melapor ke Polisi. Dan ketika diproses pidana UU ITE dan pidana pencemaran nama baik, penyidik Polri dari seluruh Indonesia harus meminta PPR Dewan Pers di Jakarta yang anggotanya hanya berjumlah 9 orang saja. Tidak ada sikap Dewan Pers meminta pelimpahan penanganan perkara pers ke Dewan Pers agar tidak ada kriminalisasi. 


Sejatinya, pengadu dapat diberi keleluasaan untuk mendapatkan pelayanan hak jawab. Dan teradu yakni pimred media wajib menjalankan pemenuhan hak jawab teradu dan kewajiban koreksi. Peran mediator yang harus hadir di situ. Sayang sekali penyelesaian perkara ini hanya terhenti di PPR Dewan Pers. Dan kasus tetap berlanjut di kepolisian. UU Pers jadi memble atau tidak berfungsi. Peran organsiasi pers pun sama, yaitu tidak pernah diberi ruang. 


Organisasi pers sebagai wadah tempat wartawan bernaung pun tidak pernah menyelesaikan perkara pers menggunakan tahapan sidang majelis kode etik dan pemberian sanksi. Peraturan Dewan Pers tentang Kode Etik Jurnalistik menjadi tidak berlaku atau tidak berguna tanpa implementasi karena semua terpusat di Dewan Pers. Padahal yang paling paham tentang anggota wartawan pastinya adalah pimpinan organisasi pers. 


Atas kondisi di atas, sudah barang tentu kesimpulan akhir harus disematkan kepada Dewan Pers yaitu gagal total dan tidak berguna dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga independen yang ditugaskan menjamin kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. 


Tak heran Uji Materi Undang-Undang Pers di Mahkamah Konstitusi menjadi satu-satunya jalan keluar dari kegagalan Dewan Pers. Harus ada keputusan dan penilaian objektif Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi melihat persoalan ini. 


Norma yang terkandung dalam UU Pers khususnya Pasal 15 Ayat (2) huruf f tentang fungsi Dewan Pers yang berbunyi “Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan“ harus dimaknai menjadi : “Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan” agar tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Dan juga tidak menghilangkan  fungsi dan kewenangan organisasi pers membuat peraturan pers untuk melindungi anggota wartawan dan perusahaan pers.




Buntut uji materi di MK, muncul reaksi berlebihan dari kelompok konstituen Dewan Pers. Ada pandangan hukum yang menyebtukan, uji materi UU Pers ini adalah kesesatan pikir dari pemohon dan jika dikabulkan akan menyebakan ketidakpastian hukum dan dapat menimbulkan peraturan-peraturan pers yang bersifat terpisah, sporadis, dan justeru bertentangan dengan kemerdekaan pers. 


Dewan Pers yang tak berdaya melawan kriminalisasi pers terhadap Asrul dan bahkan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses kriminalisasi pers terhadap media yang belum terverifikasi dan wartawan yang belum UKW. 


Kelompok pers yang termarjinalkan juga sulit berkembang di berbagai daerah dengan stigma negatif media abal-abal dan wartawan abal-abal. Media Terverifikasi dan UKW menjadi jualan Dewan Pers untuk meraup untung dari bisnis UKW ilegal dan pengelompokan media terverifikasi. 


Segelintir pemilik media yang belum berbadan hukum dijadikan senjata pamungkas Dewan Pers untuk memotret puluhah ribu media online dengan stigma media abal-abal. Celakanya, pemerintah daerah ikut terbius dengan propaganda negatif Dewan Pers tersebut kemudian menerbitkan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah yang mewajibkan kerja sama perusahaan pers dengan pemerintah daerah harus terverifikasi Dewan Pers.


Kendati pada prateknya, media terverifikasi Dewan Pers tidak ada jaminan memiliki jumlah pembaca organik dan banyak, serta konten beritanya berkualitas. Buktinya, baik rating media dan perolehan pendapatan iklan komersil masih jauh dari kata mencukupi biaya operasional. Wartawan yang bekerja di media terverifikasi masih begitu banyak yang tidak digaji. Dewan Pers pura-pura tutup mata dan gak tau apa-apa. 


Padahal monopoli belanja iklan oleh konglomerat media sudah berlangsung selama belasan tahun di negeri ini. Media dan pers lokal termarjinalkan tanpa solusi dari Dewan Pers. Ratusan triliun rupiah belanja iklan pertahun hanya dinikmati segelintir konglomerat media nasional. 


Lebih para lagi, pendapatan media mainstream nasional berjumlah triliunan rupiah per tahun tapi wartawannya masih jauh dari kata sejahtera. Sialnya, organisasi pers konstituen Dewan Pers hanya organisasi AJI yang konsisten berteriak sendiri soal batas minimal gaji wartawan pemula berada diangka 9 juta rupiah perbulan. 


Meski angka tersebut masih terlalu sedikit dibanding taruhan independensi wartawan tergadaikan akibat nyambi terima amplop dari nara sumber. Seharusnya, gaji wartawan level reporter yang bekerja di media nasional peraih pendapatan triliunan rupiah wajib menggaji wartawannya di angka 15 juta rupiah. 


Belum lagi peraih belanja iklan nasional itu adalah media televisi nasional yakni di angka 80 persen. Lembaga riset Media Business Nielsen Indonesia mencatat, nilai belanja iklan tahun 2020 di Indonesia sebesar Rp.229 triliun di semua tipe media yang dimonitor, yakni TV, Cetak, Radio dan Digital. Dan Nielsen menyebutkan, media TV masih menjadi ruang beriklan yang paling dominan yakni di atas 70 persen dari Rp.229 triliun belanja iklan tahun 2020 lalu. 


Berkaca dari kondisi ini, perlu dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal 17 ayat (3) UU Penyiaran menyebutkan, “Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan. 


Kemudian pada ketentuan pidana Pasal 57 huruf a. Disebutkan,” Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)” dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana pejara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak banyak Rp.10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. 


Pada UU Pers juga diatur tentang kesejahteraan wartawan pada Pasal 10 yakni: “ Perusahaan Pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. 


Nah, kedua UU tersebut di atas sudah sangat jelas mengatur tentang pemberian kesejahteraan terhadap karyawan (termasuk wartawan pada UU Penyiaran) dan kepada wartawan dan karyawan pers (pada UU Pers). 


Lantas di mana kehadiran Dewan Pers dan organisasi konstituen Dewan Pers terkait perjuangan hak-hak wartawan dan karyawan pers di media mainsream nasional. Jangankan peberian saham atau pembagian laba, wartawan di media penyiaran swasta nasional saja masih ada wartawan yang tidak digaji tapi hanya dibayar berdasarkan jumlah berita yang ditayangkan di siaran berita televisi. Koresponden atau kontributor TV nasional di daerah banyak yang mengalami nasib tidak digaji tapi hanya dibayar per berita tayang. 


Muncul pertanyaan besar, adakah Dewan Pers dan organisasi konstituen IJTI melaporkan pidana pemilik Lembaga Penyiaran Swasta Nasional yang melanggar ketentuan pidana Pasal 57 huruf a. UU Penyiaran ? Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan bagian laba perusahaan dan jika melanggar kewajiban ini dapat dipidana dengan pidana pejara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak banyak Rp.10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.


Kemudian adakah Dewan Pers sebagai lembaga yang diakui negara memperjuangkan hak-hak wartawan untuk mendapatkan kesejahteraan dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya dari pemilik perusahaan pers ?. 


Kondisi ini yang menjadi perhatian serius organisasi-organisasi pers di luar konstituen Dewan Pers untuk membentuk Dewan Pers Indonesia yang independen dalam rangka memperjuangkan hak-hak wartawan dan media tersebut yang terabaikan. 


Dewan Pers Indonesia sudah bertekad untuk memperjuangkan kepentingan perusahaan-perusahaan pers lokal agar bisa mendapatkan porsi iklan komersil. Agar tidak ada lagi media lokal ‘mengemis’ iklan kerja sama dengan pemerintah daerah. 


Dan belanja iklan nasional yang mencapai ratusan trililun rupiah itu bisa terdistribusi ke seluruh daerah di Indonesia. Ke dapan nanti tidak boleh ada monopoli perusahaan agensi iklan yang hanya menyalurkan belanja iklan kepada media-media televisi nasional. 


Dewan Pers Indonesia saat ini sedang berjuang membina puluhan media online berbasis SEO Google agar bisa meraup untung dari belanja iklan di google yang cukup besar. Di tahun 2022 ada program Dewan Pers Indonesia melalui Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia (DPP SPRI) membina lebih banyak lagi media berstandar SEO Google.  Targetnya 1000 media online di 2022 sudah terpasang SEO Google pro. 


Dengan cara ini tidak ada lagi pemerintah bekerja sama hanya dengan media terverifikasi Dewan Pers. Karena media yang terpasang SEO Google pro pasti akan lebih berkualitas dibanding media terverifikasi Dewan Pers karena rating dan jumlah pembacanya pasti organik dan jauh lebih banyak dari media yang terverifikasi Dewan Pers. 


Jika seluruh media online lokal terdampak dengan program pemasagan SEO Gogle premium ini maka diperkirakan belanja iklan akan terbagi ke seluruh Indonesia atau tidak lagi domonopoli oleh media nasional yang berada di Jakarta saja. Karena kualtas media sudah merata di seluruh Indonesia.


Mengingat legitimasi Dewan Pers Indonesia belum juga disahkan oleh Persiden RI Joko Widodo maka sangat diharapkan permohonan uji materi UU Pers, khususnya Pasal 15 Ayat (3) bisa dikabulkan majelis hakim MK. Permohonan itu menyatakan Pasal 15 ayat (3) UU Pers bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai : “Keputusan presiden bersifat administrasi sesuai usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers , perusahaan-perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres yang demokratis.” ****Penulis adalah Ketua Dewan Pers Indonesia, Ketua Umum DPP SPRI, dan Ketua LSP Pers Indonesia. *

Apresiasi yang Tinggi atas Kunjungan Bupati Hamsuardi  ke Jorong Rurapatontang.

By On Jumat, Mei 21, 2021

 OPINI & PERSPEKTIF

 Oleh :

Martondi Lubis, SH,MKn.

(Perantau Asal RPTT di  Jakarta )


Pertama saya mengucapkan terimakasih atas kunjungan pak Hamsuardi beserta tim Safari Idulfitri ke kampung kami jorong Rurapatontang.

 

Saya sangat mengapresiasi kunjungan ini. Saya kira tidak banyak bupati yang mau berkunjung ke jorong kecil, terpencil dan terisolir seperti kampung kami.


Pak Hamsuardi adalah bupati ke -3 yg menorehkan jejak di jorong Rurapatontang, setelah pak Baharuddin dan pak Yulianto.


Dalam Catatan saya, setiap kunjungan bupati terdahulu selalu meninggalkan jejak sejarah yang indah, misalnya ketika pak Baharuddin duhulu datang ke jorong Rurapatontang, tidak lama setelah itu beliau membangun jembatan permanen Batang Pegambiran Nagodang.


Kemudian saat kunjungan pertama kali bupati Yulianto ke jorong Rurapatontang pada tanggal 18 Nopember 2019. Tidak lama setelah itu beliau langsung  membangun jalan ke Rurapatontang dengan Rabat Beton sepanjang + 1.250 meter.

 

Bagi saya dan tentu saja masyarakat Rurapatontang, kedatangan pak Hamsuardi ke kampung kami membawa kegembiraan, kebanggaan tersendiri dan sekaligus juga membawa harapan besar bagi kami.


Setelah kunjungan pak Hamsuardi ini, saya merasa tidak perlu lagi menggambarkan tentang situasi dan kondisi masyarakat Rurapatontang, saya sangat percaya pak Hamsuardi punya kesan dan penilaian sendiri mengenai keadaan Rurapatontang di era kekinian dan pak bupati pastilah punya solusinya. ****Penulis : Martondi Lubis, SH., MKn., Perantau Asal RPTT di Jakarta


 

 

 

 

 

 

 

Pemuda dalam Pilkada, Menentukan Arah Bangsa

By On Senin, Februari 10, 2020

OPINI
Oleh : Idenvi Susanto, S.Pd

Pemilihan Kepala Daerah (pilkada), merupakan satu momentum yang kelak menentukan nasib Daerah. Apabila mekanisme pilkada tidak diikuti dengan tanggung jawab, maka diragukan akan menghasilkan perubahan yang sesuai harapan. 

Pilkada bukan hanya sekadar momen di mana masyarakat yang telah memiliki hak pilih untuk memilih para pimpinannya, namun di dalam pilihan mereka tersebut tersimpan harapan yang sangat besar dalam mengubah masa depan bangsa Indonesia terkhusus di daerah. 



Tentunya ada harapan yang sangat besar bahwa nantinya peminpin yang terpilih mampu menampung seluruh aspirasi masyarakat dan mengiplementasikannya dalam sebuah tindakan nyata dalam bentuk progres pembanguan untuk masa depan yang lebih baik. Jangan sampai pilkada hanya menjadi ajang untuk mencari keuntungan semata oleh pihak-pihak tertentu atau pribadi kita sendiri.

Bermodalkan ketenaran dan uang mereka sebagai politikus atau tidak politikus mereka pun berlomba-lomba untuk masuk ke partai politik dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. 

Dengan berbagai motivasi, tentunya hal ini akan berdampak pada hasil pilkada yang tidak sesuai dengan yang diharapkan jika para pemilih hanya berpatokan pada ketenaran dan uang yang dimiliki calon. Maka kesalahan 5 tahun yang lalu akan kembali terjadi. Maka kita akan kembali mengubur dalam-dalam harapan tentang pembangaun dan perubahan masa depan yang lebih baik. 

Jika dalam pemilih kepala daerah yang terjadi adalah transaksi uang atau yang dikenal dengan politik uang, maka secara tidak langsung masyarakat telah menjual suara mereka dan bisa dikatakan bahwa mereka telah menjual segala harapan, maka dipastikan tidak akan didapatkan pemimpin yang amanah sebagai mana yang diimpi-impikan, karna usaha dan upaya membatalkan harapan dan impian itu sendiri. Semua janji-janji yang  di umbar-umbarkan oleh para calon akan menguap dan tidak pernah terealisasikan.

Melihat kondisi perpolitik yang seperti ini, membuat kita miris, tentunya diperlukan suatu perubahan. Perubahan yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia terkhusus Kabupaten Pasaman Barat daerah saya tinggal. Dan dalam hal ini hanya para pemilih cerdaslah yang menjadi peran utama dalam upaya mewujudkan arah perubahan bangsa.

Hasil pemilihan kepala daerah sangat berpengaruh terhadap kehidupan individu di setiap daerah karena hampir segala sesuatu yang terjadi di dalam masyarakat adalah dampak dari proses pengambilan kebijakan (Eksekutif) yang dibuat di dalam pemerintahan. Baik kita menyadarinya atau tidak hasil pemilihan kepala daerah akan sangat berpengaruh kepada kehidupan kita. 



Oleh karena itu kita penting berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah. Selain untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, serta menciptakan pemerintahan yang demokratis, akuntabel, transparan, berkualitas dan berintegitas juga untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk kita semua.

*Peran Pemuda Perpolitikan Indonesia*

Pemuda tidak boleh merasa tabu jika berbicara politik, justru pemuda memiliki posisi strategis dalam menetukan arah masa depan bangsa. Paradigma bahwa mahasiswa/pemuda tidak boleh berpolitik adalah sebuah persepsi yang salah dan sangat salah. Pemuda tanpa politik adalah keniscayaan, karna pada hakikatnya gerakan yang dilakukan pemuda/mahasiswa adalah gerakan politik. 

Gerakan demontrasi masa atau penggiringan isu baik di media mainstream atau atau pun dimedia sosial seyogyanya adalah gerakan politik. Gerakan yang bertujuan menggalang kekuatan untuk mengubah arah kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat atau mendorong pemerintah atau pihak - pihak untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.

Peran para pemuda harusnya tidak hanya berkontribusi sebagai masyarakat yang memilik hak pilih. Tetapi para pemuda di Indonesia terkhusus Kabupaten Pasaman Barat harus lebih dari hanya sekadar pemilih aktif. Pemuda harus berkontribusi langsung secara aktif dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Walau bukan harus terjun kedunia politik praktis namun gerakan politik mahasiswa/pemuda itu sendiri.

Kita ketahui bersama bahwa kemampuan pemuda Indonesia dalam berpolitik tidak dapat diremehkan lagi.  Kemampuan pemuda Indonesa telah teruji dari waktu kewaktu dalam perjalan bangsa Indonesia, hal ini ditandai dengantidak satupun gerakan perubahan bangsa Indonesia tanpa peran serta para pemuda/mahasiswa Indonesia. 



Pemikiran yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan politik dapat menjadi suatu pembaharuan dalam dunia perpolitikan. Saat ini sedikit demi sedikit telah terjadi pergeseran pandangan masyarakat terhadap pemuda Indonesia yang dulunya hanya dianggap sebagai kaum anarkis menjadi kaum intelektual yang berpikitan kritis.

Pemikiran kritis yang dimiliki oleh pemuda-pemudi Indonesia telah mampu mewakili aspirasi rakyat Indonesia. Dan dikarenakan hal inilah dapat dikatakan bahwa sebenarnya pemuda-pemudi Indonesialah yang menjadi wakil rakyat Indonesia dalam menyuarakan semua aspirasi mereka dan tuntutan mereka atas pemenuhan hak. ***

Pencegahan Anti Korupsi Dimulai dari Pembekalan Diri terhadap Generasi Muda

By On Minggu, Desember 31, 2023

 

OPINI


Oleh : NADIA SALSABILA

(Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Baiturrahmah) 

 

Korupsi, merupakan tindakan memperkaya diri sendiri dengan menyalahgunakan kewenangan di suatu perusahaan, organisasi, yayasan dan lembaga  pemerintahan untuk keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain, yang perlu dicegah sejak dini. Oleh kerena itu Pendidikan anti korupsi sangat penting  untuk ditanamkan dalam diri sejak dini , terutama generasi muda Indonesia.


Salah satu penyebab terjadinya korupsi adalah inefisiensi birokrasi, Indonesia masih dinilai lemah dalam memberikan sanksi bagi para koruptor sehingga belum memberikan efek jera. Apabila dilihat dari dampak yang diberikan dari korupsi, ini dapat menyebabkan rusaknya sistem tatanan masyarakat, memicu penderitaan pada masyarakat dalam berbagai sektor ekonomi dan sosial, serta menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat pemerintah. Oleh sebab itu, diperlukan usaha yang lebih keras, lebih terintegrasi agar dapat memberantas korupsi agar berdampak bagi keberlangsungan pembangunan dan menciptakan konsolidasi demokrasi.


Korupsi juga diduga terjadi di dalam dunia pendidikan baik di jenjang dasar maupun jenjang perkuliahan yang oknumnya sendiri merupakan pengajar maupun pelajar. Seharusnya sekolah maupun kampus merupakan tempat dimana para pelajar atau mahasiswa mendapatkan pendidikan serta moral etika. Agar setelah menyelesaikan jenjang pendidikan, para pelajar ataupun mahasiswa memiliki pengetahuan yang memadai serta memiliki moral etika salah satunya adalah kejujuran dalam bekerja dan terhindar sebagai pelaku korupsi.


Keterlibatan mahasiswa dalam Upaya pemberantasan korupsi tentu tidak pada Upaya penindakan yang merupakan kewenangan institusi penegak hukum. Peran aktif mahasiswa diharapkan lebih difokuskan pada upaya pencegahan korupsi dengan ikut membangun budaya anti korupsi di masyarakat.


Mahasiswa diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan dan motor penggerak gerakan anti korupsi di masyarakat. Untuk dapat berperan aktif mahasiswa perlu dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya. Pendidikan anti korupsi berupaya agar mahasiswa dapat mengetahui dengan jelas permasalahan korupsi yang sedang terjadi dan usaha untuk mencegahnya.


Upaya pembekalan mahasiswa dapat ditempuh dengan berbagai cara  antara lain: kegiatan seminar, sosialisasi,kampanye ataupun perkuliahan. Pendidikan anti korupsi bagi mahasiswa bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya serta menanamkan nilai-nilai anti korupsi. Tujuan jangka panjangnya adalah menumbuhkan budaya anti korupsi dikalangan mahasiswa dan mendorong mahasiswa dapat berperan serta aktif dalam Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.


Karena Pendidikan diyakini sebagai kunci masa depan dan Pendidikan anti korupsi merupakan Pendidikan seumur hidup yang sangat penting ditanamkan sejak dini. Kualitas sumber daya manusia merupaka modal utama Pembangunan bangsa. Kampus sebagai lingkungan pencetak generasi bangsa dengan taraf yang lebih tinggi juga peduli terhadap pendidikan anti korupsi di lingkungan mahasiswa. Sebagai barometer pendidikan untuk jenjang dibawahnya. Pendidikan yang merupakan tiang untuk membentuk karakter bagi generasi muda. Salah satu pendidikan yang dinilai sangat penting bagi mahasiswa/generasi muda adalah pendidikan anti korupsi.


Hampir setiap perguruan tinggi sudah memberikan Pendidikan anti korupsi dan integritas sebagai mata kuliah wajib bagi setiap mahasiswa. Salah satunya yaitu Universitas Baiturrahmah, memberikan pendidikan anti korupsi dan integritas  sebagai salah satu mata kuliah wajib setiap mahasiswa. Dengan adanya mata kuliah ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya serta menanamkan nilai nilai anti korupsi.


Pendidikan anti korupsi tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga merubah pola fikir paradigma serta tingkah laku mahasiswa untuk menerapkan prinsip hidup yang baik. Ini juga menjadi bekal bagi mahasiswa sebelum memasuki dunia kerja nantinya.


Efek dari penanaman nilai-nilai anti korupsi akan terasa dalam waktu yang lama, prosesnya tidak instan, ia akan terasa ketika anak-anak yang mendapatkan pendidikan ini sudah besar dan mengambil peran social serta berada pada institusi social tertentu untuk secara bersamaan meruntuhkan system budaya korupsi. Diharapkan melalui penanaman karakter anti korupsi dalam diri sejak dini. Setiap cikal anak bangsa baik melalui  Lembaga Pendidikan dan peran social lainnya dapat tercipta generasi baru yang jauh lebih baik.


Pencegahan korupsi bisa ditekan salah satunya dengan menanamkan integritas sejak dini dan sejak muda sehingga seseorang dapat menunjukkan kepatuhan yang konsisten,jujur tanpa kompromi. Percuma jika terlalu tinggi Pendidikan seseorang, tetapi kurang integritasnya, yang itu bisa memperbanyak orang semakin pandai mencari celah untuk korupsi.


Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena yang sering terjadi di Indonesia. Tindak korupsi terus meningkat dari tahun ke tahun yang dilihat dari segi kasus yang terjadi. Tindak korupsi dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun tanpa memandang bulu. Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum.


Sebagai generasi muda yang paham mengenai pentingnya pendidikan anti korupsi  mengerti bahwa pendidikan anti korupsi tidak hanya dipelajari dan dipahami secara teori, tetapi kita semua memiliki kewajiban mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai salah satu wujud cinta tanah air dan bela negara. (Penulis : NADIA  SALSABILA, Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Baiturrahmah)

Menuju Rumah Tangga Samawa

By On Jumat, September 27, 2019

OPINI
Oleh : IRAWADI
Sesungguhnya, agar rumah tangga terjaga dan utuh, dan menjadi keluarga yang sakinah, mawardah, warahmah, tentunya tetap memelihara hak- hak istri maupun suami. ”Dan bergaullah dengan mereka secara patut” (An-Nisa` :19).  Maksudnya, perlakukanlah mereka secara patut, seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada kaum laki- laki dan wanita.Yakni, sama- sama menjaga dan memelihara dengan memberikan hak- hak mereka yang telah diwajibkan oleh Allah, atau melepaskan mereka dengan cara yang baik.

Secara naluri, seorang wanita memang memiliki perasaan yang halus, namun sebaliknya ia mudah marah dan tergoda oleh rayuan duniawi.Untuk itu, suami wajib bersabar dalam menghadapinya dan berlaku lembut kepadanya, agar mereka tetap bisa hidup tentram,damai dan bahagia.Dan sekali kali, janganlah berbuat kasar, apalagi melakukan kekerasan fisik yang dapat mencederainya.Dan andaipun ia tak bisa lagi menjaga dan memelihara hak- hak suaminya, lepaskan dia secara baik- baik.

Contoh suami yang baik,  pernah ditunjukkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, ketika cekcok mulut dengan istrinya Aisyah.Ketika itu Rasulullah bertanya pada istrinya Aisyah,”Kamu yang bicara lebih dahulu atau aku ? Lalu dijawab Aisyah, ”Engkau saja yang bicara dahulu, tapi saya mohon bicaralah dengan benar.”

Mendengar jawaban ketus dari Aisyah ketika itu, Abu Bakar selaku mertua Rasulullah langsung menampar anaknya Aisyah hingga berdarah dan sembari berkata,”Hai, beraninya kamu berkata seperti itu ? bukankah beliau ini selalu berkata benar ? ”.

Padahal selaku orang tua, Abu Bakar bermaksud mengajar anaknya, agar tetap santun terhadap suaminya. Namun, Rasulullah tidak suka, perlakuan kasar dan menggunakan kekerasan fisik.kendatipun mertuanya, Rasulullah menegurnya, ”Aku mengundang anda bukan untuk berbuat seperti ini. Dan aku tidak ingin Anda melakukannya lagi”.

” Kaum laki- laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki- laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki- laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa` :34). Artinya, sang suami wajib memberikan nafkah, meskipun istrinya adalah orang kaya dan berkecukupan.

Untuk itu, seorang suami tidak boleh membiarkan atau menelantarkan istrinya tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syariat, karena hal itu sama dengan berbuat zhalim kepada istri.Meskipun dengan dalih agar bisa konsentrasi dan khsusuk dalam beribadah. Dan menurut syariat, hal itu tetap tidak dibolehkan.

Begitu juga sebaliknya, seorang istri wajib taat kepada suaminya terhadap segala perintahnya, asalkan tidak termasuk perbuatan durhaka kepada Allah.Setiap mukminah yang taat kepada suaminya yang mukmin, ia akan masuk ke surga Tuhannya.Insya Allah berkat ketaatannya tersebut.Sesuai Sabda Rasulullah,”Apabila seorang wanita sudah menjalankan shalat lima waktu, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka niscaya ia akan masuk surga dari pintu mana pun yang ia inginkan.”

Kemudian, seorang istri juga harus selalu setia dan ikhlas.Setia adalah sifat yang terpuji, dan setia adalah bukti keikhlasan dan cinta sejati. Sebagai istri yang saleha, tidak boleh membebani suaminya dengan tuntutan- tuntutannya.Ia rela menghadapi kesulitan dengan sabar dan ridha.Dan jika ia kaya, ia mau membantu suaminya yang miskin.

Terus, seorang istri tidak boleh menyakiti atau menyinggung perasaan suaminya.Seperti, dengan membangga- banggakan kecantikan, atau membangga- banggakan harta kekayaannya dihadapannya. Rasulullah bersabda, ” Seorang istri yang menyakiti suaminya di dunia, bidadari calon istrinya di surga akan mengatakan, jangan kamu sakiti dia. Semoga Allah memusuhimu.Sesungguhnya di sisimu ia hanya sebagai seorang tamu.Ia akan meninggalkan kamu menuju kepada kami.”

Dan dosa besar, bagi seorang istri meminta cerai pada suaminya, tanpa ada alasan sama sekali.Karena hal tersebut,dapat menghancurkan tali hubungan keluarga, menelantarkan anak- anak, dan menanamkan benih kebencian pada jiwa suami.Seperti Sabda Rasulullah, ”Setiap wanita yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada alasan sama sekali, maka haram atasnya aroma surga.” Maksud dari tanpa alasan sama sekali, yakni alasan yang diakui oleh syariat.

Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda, ” Aku diperlihatkan neraka. Ternyata sebagian besar penghuninya adalah kaum wanita. Kebanyakan mereka berlaku kufur.” Lalu seorang sahabat bertanya, apakah mereka berlaku kufur kepada Allah ? Kemudian Rasul bersabda, mereka berlaku kufur terhadap suaminya, dan mereka mengingkari kebaikan yang ada.Artinya,kebaikan suami bertahun tahun, hilang karena hanya sebuah kesalahan.

Nah, bila sebuah mahligai rumah tangga ingin tetap utuh dan diberkahi, maka tentunya perlu memelihara hak- hak istri maupun suami, dalam mengarungi kehidupan rumah tangganya.Seorang suami, harus bekerja keras mencari rezeki demi keluarganya.Sebaliknya, sang istri harus bisa membelanjakan rezeki tersebut dengan baik, agar terhindar dari kesulitan- kesulitan ekonomi.

Seorang istri yang bisa hidup sederhana, ia tidak akan membebani suaminya dengan hutang- hutang.Seorang istri yang pandai mengatur dan berlaku sederhana, ia tahu kapan waktunya berbelanja, membeli untuk dimasak, dan membeli keperluan lainnya dengan harga yang murah, supaya tidak memberatkan keuangan keluarga.

Sesungguhnya, seorang istri adalah kepala rumah tangga. Ia bisa melestarikan atau menghancurkan bangunan rumah tangganya.Seperti kata orang bijak, ”Jika di rumah seseorang tidak ada istri yang dapat mengatur dengan baik, maka terlantarlah semua kepentingan- kepentingan rumahnya.” ***   

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *