HEADLINE NEWS

Menghianati Sejarah, Perlukah Mandat Penguatan Peran Dewan Pers Dicabut ?

By On Rabu, April 21, 2021

OPINI


Oleh : 

Heintje Mandagi 

(Ketua Umum DPP SPRI)


BERAGAM komentar dan pendapat  di berbagai grup aplikasi Whatsapp memenuhi kolom komentar di grup WA wartawan se Indonesia terkait pelaksanaan pelatihan asesor kompetensi yang diselenggarakan LSP Pers Indonesia di Jakarta baru-baru ini. Judul berita menjadi topik hangat yang dibicarakan. Ini menunjukan bahwa dinamika dalam mejalankan profesi itu sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan wartawan.  


Tidak bisa dipungkiri bahwa ada kecenderungan terjadi polarisasi dalam kehidupan pers di Indonesia. Ada kubu yang dipotret abal-abal dan kubu yang dipotret sebagai wartawan profesional dan kompeten. Situasi dan kondisi ini terus bergulir sejak tiga tahun terakhir ini. Dan memuncak pada pelaksanaan pelatihan asesor kompetensi yang diikuti puluhan wartawan dari kelompok yang dianggap abal-abal. Kelompok ini berusaha membuktikan bahwa potret abal-abal yang disematkan selama ini justeru menjadi peluang dan tantangan untuk membenahi kehidupan pers Indonesia ke arah yang lebih baik. Beberapa wartawan dari kelompok yang dilabel profesional pun ikut juga diajak menjadi peserta pelatihan ini. Bahkan salah satu pesertanya merupakan penguji kompetensi yang berasal dari Dewan Pers. Sebagian dari peserta pelatihan asesor ini memegang sertifikat Kompetensi Wartawan Utama versi Dewan Pers. 


Hal ini cukup membuktikan bahwa praktek sertifikasi kompetensi bidang wartawan yang dilaksanakan selama ini oleh kelompok yang diangap profesional ternyata melanggar aturan perundang-undangan dan berimplikasi pidana. Penegasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjawab persoalan bahwa domain sertifikasi kompetensi ada pada Pendidikan Tinggi berlisensi dan Badan Nasional Sertifkasi Profesi. Dua lembaga ini yang diberi kewenangan sesuai Undang-Undang tersebut di atas. 


Pada pasal 44 UU Pendidikan Tinggi bahkan secara tegas menyebutkan : “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi.” Artinya aturan ini belaku di seluruh Indonesia bagi semua orang, semua organisasi, dan semua penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi. Hukuman atas pelanggaran pasal ini pun tidaklah main-main sebagaimana diatur pada Pasal 93 Undang-Undang ini yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah. 

Terlepas dari semua itu, kita menengok sedikit ke belakang, bahwa Indonesia pernah melewati sejarah kelam kemerdekaan pers. Dewan Pers dan terutama Departemen Penerangan RI yang dianggap membelenggu kemerdekaan pers di era Orde Baru akhirnya tumbang dan dibubarkan. Tidak ada lagi Depen RI dan Dewan Pers menyusul Undang-Undang pokok Pers era Orde Baru dinyatakan tidak berlaku. 


Draft Undang-Undang Pers  tahun 1999 kemudian dipersiapkan oleh para pejuang kemerdekaan pers bersama-sama dengan puluhan pimpinan organisasi-organisasi pers, termasuk Ketua Umum SPRI ketika itu dijabat Lexy Rumengan. 


Dalam draft asli UU Pers Tahun 1999 itu tadinya tidak ada yang mengatur tentang Dewan Pers. Menurut pengakuan dua saksi sejarah yang masih hidup, Lexy Rumengan, yang kini berdomisili di Amerika Serikat, dan Hans Kawengian (Ketua Umum KOWAPPI) bahwa saat pembahasan draft UU Pers tersebut berlangsung, Jacob Utama selaku tokoh pers senior, mengusulkan pasal tentang Dewan Pers disisip di tengah-tengah Undang-Undang dengan tujuan agar ada wadah yang bisa mempersatukan seluruh organisasi pers dalam melindungi kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. 


Usulan itu menurut Kawengian dan Rumengan, sempat mendapat penolakan dari beberapa pimpinan organisasi pers karena trauma dengan masa lalu. Namun karena lobi-lobi yang dilakukan Jacob Utama akhirnya berhasil membuat seluruh peserta menyetujui pasal tentang Dewan Pers dimasukan dalam UU Pers, namun tidak dicantumkan pada Ketentuan Umum Pasal 1 lalu disisip di tengah-tengah Undang-Undang  yakni di pasal 15 agar tidak dominan jika ditempatkan di pasal 1 Ketentuan Umum Undang-Undang Pers. 


Setelah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ini disahkan, Dewan Pers yang kemudian terbentuk, lebih banyak diam dan tidak berfungsi. Organisasi-organisasi pers begitu merdeka dan dominan menjalankan aktifitas pegembangan kemerdekaan pers dan peningkatan kualitas pers nasional secara mandiri dan bertanggung-jawab. 


Situasi itu kemudian berubah, ketika pada tahun 2006 Dewan Pers membujuk dan mengajak puluhan pimpinan organisasi pers untuk berkumpul dan membahas konsep tentang penguatan terhadap kelembagaan Dewan Pers melalui kegiatan Lokakarya pada tanggal 13 Agustus 2003 di Jakarta. Dan pada akhirnya 29 pimpinan organisasi pers membuat pernyataan dan sepakat memberi “hadiah” mandat penguatan kelembagaan terhadap Dewan Pers karena menganggap perlindungan terhadap profesinya bisa ikut terjamin dengan adanya penguatan peran Dewan Pers.  Sesudah itu terbitlah Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 05/SK-DP/111/2006 tentang Penguatan Peran Dewan Pers.


Namun sayangnya penerapan atau implementasi dari penguatan kelembagaan Dewan Pers ini salah diterjemahkan oleh pengurus Dewan Pers di tahun-tahun berikutnya. Bahkan ketentuan yang disepakati justeru tidak dilaksanakan secara menyuluruh oleh Dewan Pers hingga saat ini. Ada beberapa poin penting dalam isi penguatan kelembagaan Dewan Pers ini justeru dilanggar oleh Dewan Pers. Salah satunya adalah pada poin ke 10, Dewan Pers perlu terus mendorong berlakunya pasal-pasal yang mendukung dekriminalisasi terhadap karya jurnalistik atau tidak menganggap pelanggaran hukum dalam karya jurnalistik sebagai kejahatan.  Pada poin ke 10 huruf d, diatur tentang penerapan sanksi perdata terhadap karya jurnalistik dan hendaknya berupa denda proporsional yang tidak menyulitkan kehidupan pihak pembayar atau membangkrutkan perusahaan yang harus membayar denda, karena putusan hukum yang berakibat demikian serupa dengan putusan politik berupa pembredelan terhadap media pers. Sayangnya poin yang mengatur tentang perlindungan terhadap karya jurnalistik ini tidak dijalankan sesuai mandat dan amanah yang diberikan kepada Dewan Pers. 


Contoh kasus yang menghebohkan jagad pers tanah air, Muhamad Yusuf yang bekerja di media Kemajuan Rakyat dan Sinar Pagi Baru, dikriminalisasi akibat berita yang ditulisnya tentang rakyat yang terzolimi oleh perlakuan perusahaan, justeru direkomendasi Dewan Pers untuk diproses dengan ketentuan hukum lain di luar UU Pers. Almarhum Yusuf pun dikriminalisasi dan ditahan, dan akhirnya tewas dalam tahanan. Dia harus menerima nasib sebagai wartawan yang berita kontrol sosialnya direkomendasi Dewan Pers sebagai “kejahatan” dan layak diteruskan dengan hukum di luar Undang-Undang Pers. 


Pengingkaran terhadap kesepakatan penguatan peran Dewan Pers juga adalah mengenai pembentukan Perwakilan Dewan Pers di berbagai daerah sebagaiamana diatur dalam poin ke 2. Sampai sekarang nyaris tidak ada perwakilan Dewan Pers di daerah yang terbentuk. Kondisi ini yang menyebabkan semua pihak yang merasa dirugikan atau keberatan atas pemberitaan di media akan lebih memilih melaporkan wartawan atau media ke pihak Polisi jika ada sengketa pers, bukannya ke Dewan Pers. Hal itu disebabkan akses untuk melaporkan sengketa pers di daerah tidak ada. Karena keberadaan Dewan Pers hanya ada di Jakarta. Pos pegaduan di daerah tidak ada sama sekali. Akibatnya, kriminalisasi pers makin marak terjadi selang kurun waktu 3 tahun terakhir ini. 


Yang lebih aneh lagi, Dewan Pers membuat peraturan tentang Standar Organisasi Pers dan kemudian menentukan sendiri konstituen organsiasi yang dianggap sesuai standar Organisasi Pers yang dibuatnya. Organisasi-organisasi pers yang dulunya memberi mandat penguatan peran Dewan Pers tidak diakui sebagai konstituen secara sepihak oleh Dewan Pers. Padahal, tanggung-jawab Dewan Pers untuk melakukan asistensi dan pembinaan agar organisasi pers sesuai standar yang ditetapkan bersama. 


Fakta ini telah menjadi sejarah kelam bahwa organisasi-organisasi pers yang memberi mandat kepada Dewan Pers untuk penguatan peran Dewan Pers justeru dikhianati. 


Pola penerapan kebijakan Dewan Pers pun terhadap media-media yang marak bermunculan di seluruh penjuru tanah air hampir sama. Ketika kebijakan Standar Perusahaan Pers diterbitkan, perusahaan pers disuruh mendaftar dan diverifikasi. Lalu yang tidak punya modal untuk mendaftarkan perusahaanya ke Dewan Pers di Jakarta kemudian dilabeli atau dipotret sebagai perusahaan media abal-abal dan didirikan untuk tujuan memeras. 


Tanggung jawab Dewan Pers untuk melakukan pembinaan terhadap kehidupan pers nasional tidak terjadi pada kondisi ini. Dewan Pers malah sibuk memotret media yang belum diverifikasi sebagai media abal-abal. Trik ini untuk menekan media agar berbondong-bondong mendaftarkan medianya masing-masing demi selembar pengakuan sebagai media terverifikasi kendati amanat UU Pers bentuknya adalah hanya mendata perusahaan pers. Tapi terjemahannya adalah memverifikasi perusahaan pers. Itu (verifikasi perusahaan pers) menjadi identik dengan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP di era Orde Baru. Sejarah kelam kemerdekaan pers itu seolah lahir kembali menjelma menjadi bentuk surat bukti Verifikasi Perusahaan Pers.  Undang-Undang Pers tahun 1999 lahir dengan nafas kebebasan pers agar perusahaan pers bebas didirikan tanpa ada persyaratan tambahan, selain syarat Berbadan Hukum Indonesia. Itu sejarahnya dan kehendak pelaku sejarah kemerdekaan pers yang berhasil menyederhanakan pendirian perusahaan pers dari trauma SIUPP masalah lalu.

  

Bahwa memang diakui, penyalahgunaan profesi wartawan dan penyalahgunaan media dengan tujuan memeras atau meneror seseorang terus terjadi di berbagai daerah. Penulis sepakat hal itu tidak boleh terjadi dan harus dihentikan. 

Kemudahan mendirikan perusahaan pers adalah hadiah yang diwariskan pejuang kemerdekaan pers, namun menjadi tanggung jawab kita sekarang ini dalam pelaksananya. Peningkatan kualitas media harus menjadi tanggung jawab semua pihak, yakni wartawan, perusahaan pers, dan terutama organisasi pers dan Dewan Pers. Semua wartawan pasti sepakat bahwa pemerasan dan teror terhadap siapapun menggunakan nama media dan profesi wartawan adalah perbuatan pidana dan tidak terpuji, serta melanggar kode etik jurnalistik. 

 Heintje Mandagie, Ketua DPI dan DPP SPRI


Nah, persoalan lain yakni verifikasi perusahaan pers. Awal mulanya tujuan verifikasi perusahaan pers adalah untuk pendataan dan peningkatan kualitas media. Namun faktanya, implementasinya sudah bergeser menjadi dokumen persyaratan sebagai bukti legalitas perusahaan pers. Penerapan kebutuhan verifikasi perusahaan pers bukan bertujuan untuk peningkatan kualitas media, namun lebih pada azas legalitas yang menyerupai perijinan, atau yang tidak mengantonginya akan diangap tidak layak beroperasi. Faktanya, banyak sekali media terverifikasi DP masih terseok-seok melanjutkan operasionalnya. Bahkan hampir seluruh media di Indonesia, di luar media mainstream, hidup segan mati tak mau. Media terverifikasi Dewan Pers sekalipun tidak menjamin kualitas dan kehidupan medianya diperjuangkan oleh Dewan Pers. 


Pertanyaannya, apakah Dewan Pers menjalankan tugas “Mengembangkan Kemerdekaan Pers” dan “Meningkatkan Kehidupan Pers Nasional” atau hanya sibuk dengan membuat peraturan dan melaksanakan  kegiatan rutin yang tidak bermanfaat secara langsung bagi kehidupan pers nasional ?  


Kenyataannya, selama Dewan Pers dibentuk kembali pada tahun 1999, perusahaan media harus berjibaku sendiri melaksanakaan upaya meningkatkan kehidupan pers nasional. Belanja iklan nasional yang mencapai seratus triliunan rupiah lebih setiap tahun dibiarkan saja oleh Dewan Pers untuk dinikmati hanya oleh segelintir konglomerat media. 


Dewan Pers justeru sibuk membuat aturan legalisasi kerja sama media dengan pemerintah daerah dengan Surat Edarannya yang ditujukan kepada pemerintah agar kerja sama media dengan pemerintah harus media yang terverifikasi Dewan Pers. Tidak sedikitpun menyentuh upaya belanja iklan nasional ikut dinikmati media lokal yang jumlahnya mencapai puluhah ribu. 


Dewan Pers bukannya sibuk mencari solusi agar belanja iklan bisa terserap atau terdistribusi ke daerah-daerah, justeru disibukan dengan menjalankan propaganda negatif terhadap media-media yang belum terverifikasi sebagai media abal-abal dan tidak layak bekerja sama dengan pemerintah. Tak heran, Kementrian Kominfo dengan leluasanya membuat petunjuk tekhnis bagi Dinas Kominfo se Indonesia agar pemerintah daerah menetapkan salah satu persyaratan kerja sama dengan media wajib perusahaannya terverifikasi Dewan Pers. 


Kondisi ini sesungguhnya memalukan dan merusak fungsi sosial kontrol pers terhadap pemerintah. Dewan Pers dan Kemenkominfo telah dengan sadar dan terang benderang melegalkan media ‘menjual’ idealismenya dengan menetapkan kebijakan yang dianggap sah melalui keberlakuan Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/X/2019 tentang Standar Perusahaan Pers dalam persyaratan kerja sama media dengan Pemda. Ironis, tapi ini fakta bukan hoax. Media lokal terjebak dalam kondisi ini karena tawaran belanja iklan tidak ada. Tidak ada pilihan lain selain “maaf” menjual idealisme pers dengan mengikat kontrak kerja sama dengan pemerintah demi melanjutkan operasional media. 


Dewan Pers seharusnya wajib menjaga independensi media dan wartawan agar tidak terkontaminasi kepentingan pemerintah. Caranya dengan memperjuangkan sumber pemasukan media dari belanja iklan nasional terdsitribusi ke seluruh daerah. Pada kenyataannya lebih dari 100 triliun rupiah belanja iklan nasional setiap tahun tidak ikut dinikmari media lokal dan hanya dikuasai oleh segelintir konglomerat media yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh jari tangan manusia. 

Pada poin ke 5 penguatan peran Dewan Pers , salah satunya diatur tentang standar gaji wartawan dan karyawan pers. Sayangnya, sampai sekarang tidak ada penetapannya dari Dewan Pers berapa standar gaji yang benar dan layak bagi wartawan. Wartawan media mainstream sekalipun terbukti digaji pas-pasan tapi Dewan Pers tidak melakukan apa-apa. Padahal di dalam Pasal 9 UU Pers mengatur kewajiban perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. 


Pada prakteknya, masih ada wartawan yang bekerja di media nasional yang penggajiannya berdasarkan jumlah berita yang naik tayang di medianya. Dan fakta umum yang terjadi adalah hampir sebagian besar media lokal tidak menggaji wartawannya. Apakah ada upaya Dewan Pers mengatasi persoalan-persoalan di atas sebagai langkah mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional ? 


Inilah fakta-fakta sesungguhnya bahwa Dewan Pers telah gagal meralisasikan mandat dan amanat serta fungsi yang diberikan oleh ke 29 Organisasi Pers pada tahun 2006 lalu untuk penguatan peran Dewan Pers. 


Bisa saja seluruh organisasi pers yang berbadan hukum di Indonesia, baik yang menjadi pelaku pemberi mandat penguatan kepada Dewan Pers, maupun organisasi pers yang ada sekarang dan berbadan hukum, mencabut mandat Penguatan Terhadap Peran Dewan Pers. Namun solusinya bukan seperti itu.


Sebagai wartawan yang memiliki pengalaman dari tingkat paling bawah yaitu reporter, penulis melihat kehidupan pers nasional tidak menuju pada peningkatan sejak Undang-Undang Pers tahun 1999 diberlakukan.


Kemerdekaan Pers Indonesia makin terpuruk. Indeks kemerdekaan pers menurut lembaga riset internasional Reporter Without Borders, bahkan pernah menempatkan Indonesia berada pada level bawah.  


Media nasional nyaris tak terlihat dalam melakukan sosial kontrol sampai pada kehidapan masyarakat di level bawah. Potret kemiskinan rakyat di berbagai daerah masih terjadi namun media seolah diam membisu. Pemandangan warga hidup di atas gerobak dan di emperan toko, serta di kolong-kolong jembatan masih terjadi di mana-mana. Padahal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 berbunyi : “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Media mainstream hanya sibuk dengan konten berita politik pemerintahan yang itu-itu saja. 


Informasi tentang pengentasan kemiskinan nyaris tak tersetuh karena tidak menarik dibaca dan ditonton. Negara kaya raya tapi masih banyak rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Negara abai tapi pers diam saja. Fakir miskin dan anak-anak terlantar belum seluruhnya dipelihara oleh negara. 


Pola pengentasan masalah di negara ini pun bak pemadam kebakaran. Ketika ramai diberitakan media, barulah pemerintah turun tangan menangani masalahnya. Presiden Joko Widodo seolah bekerja sendirian dalam mengatasi persoalan di masyarakat. Media tidak memberi informasi yang konkrit di level paling bawah agar penguasa jadi tahu penyelesaiannya di level atas. Padahal rakyat kecil paling butuh nasibnya diekspos agar dilirik pemerintah dan pemangku kepentingan. 


Kembali pada persoalan sertifikasi kompetensi yang informasinya bergulir hangat dua hari terakhir ini. Muncul tangapan dan reaksi Dewan Pers, yang bagi penulis sesungguhnya itu menjadi harapan baru bagi masa depan kompetensi wartawan nasional. Intinya Dewan Pers sudah sepakat pelaksanaan sertifikasi kompetensi diletakan pada jalur yang benar yakni melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi.


Ada hal yang menarik disimak dari klarifikasi Ketua Dewan Pers Muh. Nuh bahwa pengajuan lisensi LSP ke BNSP harus ada rekomendasi dari Dewan Pers. 


Di satu sisi informasi ini merupakan angin segar bagi pers tanah air bahwa Ketua Dewan Pers Moh. Nuh sudah mengakui bahwa pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi wajib melalui LSP berlisensi BNSP dan memperoleh Rekomendasi dari Dewan Pers.


Keterangan itu pun harus diuji beradasarkan peraturan Badan Nasional Sertifikasi Profesi menyangkut syarat pendirian LSP dan konfirmasi langsung ke Ketua BNSP. Sampai hari ini belum ada pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Ketua BNSP kepada publik terkait persyaratan LSP di bidang pers. 


Dari sistem sertifikasi kompetensi nasional yang berlaku selama ini mengacu pada PP Nomor 10 Tahun 2018 tentang BNSP. Jadi aturan dan perangkat hukumnya jelas. 


Apapun keputusan pemerintah wajib hukumnya bagi semua LSP termasuk LSP Pers Indonesia mentaatinya. 


Dewan Pers sebagai lembaga independen sebaiknya legowo menerima masukan dan terbuka menerima kenyataan jika melakukan kekeliruan. Tidak perlu marah atau malu. Kelompok pers yang dilabeli abal-abal pun selama ini tetap menjalankan aktifitas meski dipotret abal-abal.  


Nah jika sekarang label abal-abal itu berusaha dilepas, maka kepentingan Dewan Pers sebagai lembaga independen yang didirkan untuk tujuan mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional harusnya berterima kasih bukannya kebakaran jenggot. Tujuan utama dari pendirian LSP Pers Indonesia adalah untuk meletakan pelaksanaan sertifikasi kompetensi wartawan pada jalur yang benar agar tidak melanggar undang-undang dan berpotensi dipidana. 


Publik akan menilai kenegarawan seorang Muhammad Nuh pada persoalan ini. Situasi ini menjadi ujian bagi Muh Nuh dan para anggota Dewan Pers, apakah kompeten sebagai Anggota Dewan Pers atau tidak. Jika ada kelompok yang selama ini dituding abal-abal dan kemudian membuktikan bahwa apa yang dituduhkan selama ini tidak benar dan justeru membuka mata semua pihak yang selama ini mempraktekan sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang dan melangar hukum,  perlukah dilawan dengan cara-cara yang melanggar kode etik jurnalistik ? 


Pada prinsipnya penulis pernah melewati menjadi reporter yang gajinya pas-pasan, sampai berada pada posisi tertinggi di keredaksian yakni pimpinan redaksi di sebuah harian lokal dan televisi lokal. Lahir dan besar dari keluarga wartawan, menjadi kebanggaan tersendiri. 


Penulis membuat gerakan kemerdekaan pers di Jakarta bersama sejumlah pimpinan organisasi pers, kemudian membentuk Dewan Pers Indonesia sebagai wujud implementasi upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan peningkatan kehidupan pers nasional. 


Dewan Pers Indonesia berusaha mengisi kekosongan yang ada dengan membentuk Dewan Pers Indonesia Perwakilan Provinsi dengan tujuan agar semua pengaduan masyarakat terkait sengketa pers bisa dilayani di tingkat daerah namun masih terganjal aturan dan sistem. 


Selanjutnya, pendataan media terhadap perusahaan pers yang dilakukan Dewan Pers Indonesia bertujuan untuk mempermudah warga negara Indonesia mendirikan media. 


Untuk meningkatkan kehidupan pers nasional atau peningkatan kesejahteraan pers, Dewan Pers Indonesia berusaha menyusun Draft APBD tentang belanja iklan nasional agar terdistribusi hingga ke daerah-daerah. Dan dengan cara ini media lokal akan sejahtera dan kerja sama media dengan pemerintah daerah tidak perlu lagi dilakukan demi menjaga indpendensi pers. Jika perusahaan pers bisa mendapatkan porsi belanja iklan maka diyakini wartawan makin sejahtera dan independen. 

Sumatera Utara menjadi target pertama pembahsan ranperda belanja iklan ini karena Ketua DPRD dan pemeritah setempat memahami potensi ini. 


Pilihan dan upaya ini yang sedang dilakukan DPI karena Dewan Pers tidak mampu menjalankan peran itu. 


Bicara kemerdekaan pers jika tidak dibarengi dengan upaya menciptakan pendapatan perusahaan maka semua pasti akan sia-sia. Income perusahaan media sudah pasti sebagian besar diperoleh dari jasa menyediakan sarana promosi produk melalui iklan di media. Hal inilah yang harus diperjuangkan. Bukannya DP sibuk urusin kerja sama pemerintah dengan media yang nilainya sangat kecil sekali dan idealisme pers jadi taruhan. 


Dampak rendahnya kesejahteraan wartawan dari segi kompetensi, misalnya wartawan dengan modal 3 buah sertifikat kompetensi sekalipun jika tidak sejahtera, maka pada gilirannya akan ikut menerima amplop saat menjalankan profesinya. Jika kompetensi seseorang turut dipengaruhi tingkat kesejahteraan maka tidak bisa tidak, upaya tersebut harus diperjuangkan. 


Apalah arti semua wartawan di UKW jika tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan atau kemampuan finasial media dan wartawan, maka ukuran kompetensi wartawannya menjadi tidak berkompeten. Fakta ril di lapangan ada ratusan wartawan, dan mungkin ada ribuan, yang bersertifikat UKW tapi tidak menerima gaji dari media tempatnya bekerja. Dewan Pers harus mampu menjelskan ke publik tentang jaminan kompetensinya apakah bisa terlaksana di lapangan jika kondisi kesejahteraan wartawan dan media masih seperti ini. ** ( Penulis : Heintje Mandagie)

Bersama Hendra Febrizal, Perumda AM Kota Padang Jadi Percontohan

By On Rabu, April 21, 2021

 LIPUTAN KHUSUS



Padang, prodeteksi MEMANG tepat pilihan Walikota Padang yang saat itu dijabat oleh Mahyeldi Ansharullah memberikan kepercayaan kepada jajaran Direksi Perumda Air Minum Kota Padang periode 2019-2024, yang dipimpin oleh Hendra Pebrizal S.Sos, MM, sebagai Direktur Utama dan didampingi Direktur Teknik Andri Satria ST.MT dan Direktur Umum Afrizal Kuning ST.MM merupakan pilihan yang tepat.


Pasalnya, tiga Direksi Perumda Air Minum Kota Padang ini, mampu "membayar" kepercayaan yang telah diberikan dengan bukti yang nyata. Dengan cara meningkatkan pelayanan kepada pelanggan serta menghadirkan penghargaan dari berbagai pihak atas kinerja yang sudah dicapai.


Menjalin kekompakan di internal perusahaan, merapatkan barisan untuk persatuan serta memotivasi seluruh unsur untuk mencapai target target yang diberikan, merupakan langkah pertama yang diambil tiga pimpinan Perumda Air Minum Kota Padang pada awal melangkah setalah diberi amanah.


Namun harus diakui, momentum bagus yang tercipta saat ini, berkat naluri kuat orang nomor satu di Kota Padang itu. Perusahaan yang bergerak pada kebutuhan dasar manusia semakin melangkah maju untuk menjadi lebih baik serta senantiasa dipercaya warga Kota Bingkuang untuk mempercayakan kebutuhan harian mereka perihal penyediaan air bersih dan air minum.


Baru-baru ini, Perumda Air Minum Kota Padang menerima tiga penghargaan bergengsi tingkat nasional. Yakni, "Top Digital


 Implementation 2020 on Infrastruktur Sektor diterima (Perumda Kota Padang), Top Leader in Digital Implementation 2020 diterima Dirut Perumda Kota Padang Hendra Pebrizal S.Sos. MM, Top CIO on Digital Implementation 2020 diterima oleh Direktur Teknik Perumda Kota Padang, Andri Satria ST. MT".



Saat itu, Walikota Mahyeldi sendiri juga mengapresiasi Perumda Air Minum Kota Padang yang telah berhasil meraih pencapain luar biasa. Sebab pada Desember 2020 itu, Perumda Air Minum Kota Padang meraih penghargaan tingkat nasional.


“Ini membuktikan bahwa Perumda Air Minum Kota Padang terus melakukan inovasi dalam pengembangan. Terus maju melangkah ke depan,” ujarnya saat itu.


Sebelumnya Perumda Air Minum Kota Padang juga menyabet penghargaan Top BUMD 2020 predikat Bintang 4 dan juga membawa pulang penghargaan Kategori Pembina BUMD untuk Walikota Padang serta kategori CEO BUMD Terbaik kepada Dirut Hendra Pebrizal.


Direktur Utama Perumda Air Minum Kota Padang Hendra Pebrizal memaparkan, ada dua fokus kerja perusahaan selama 2020. Yakni fokus pada bidang produksi, distribusi serta kepada kemudahan pelanggan dalam urusan administrasi.


Dalam hal produksi, hingga akhir 2020 produksi air Perumda Air Minum Kota Padang sudah mencapai 1550 liter per detik dengan melayani pelanggan aktif mencapai 125.000 pelanggan.


Jika ditarik ke belakang, tepatnya lima tahun lampau, Perumda Air Minum Kota Padang memiliki  98.000 pelanggan, di antaranya 84.000 pelanggan aktif dan 14.000 pelanggan non aktif. Sementara di tahun 2020 ini total pelanggan sudah mencapai 125.000 dengan pelanggan aktif 109.000 dan 16.000 pelanggan non aktif.


Sumber air baku Perumda Air Minum Kota Padang berada di tujuh titik yakni di Guo Kecamatan Kuranji, di Lubuk Peraku Kecamatan Lubuk Kilangan, di Palukahan Lubuk Minturun Kecamatan Koto Tangah, di Sikayan Limau Manis Selatan Kecamatan Pauh, di Jawa Gadut Limau Manis, di Batang Timbalun Bungus Teluk Kabung, serta Lori Lubuk Minturun.


Guna mengolah sumber air baku menjadi air bersih untuk pelanggan, Perumda Air Minum Kota Padang memiliki 10 IPA (Instalasi Pengolahan Air) untuk pengolahan air permukaan serta sumber air bawah tanah dari puluhan sumur bor.


Dan samapai saat ini, Perumda Air Minum Kota Padang telah memiliki IPA di berbagai lokasi yakni, IPA Gunung Pangilun dengan produksi 500 liter per detik, IPA Ulu Gadut I produksi 50 liter per detik, IPA Ulu Gadut II  produksi 50 liter per detik, IPA Lubuk Tempurung 40 liter per detik, IPA Kampung Pinang Bungus produksi 40 liter per detik, IPA Latung Lubuk Minturun produksi 290 liter per detik, IPA Sikayan Balumuik produksi 180 liter per detik, IPA Jawa Gaduik produksi 20 liter per detik, IPA Taban produksi 100 liter per detik, IPA Palukahan produksi 100 liter per detik.


“Di tahun 2021 ini kita mendapat pinjaman lunak dari Bank Nagari sebesar Rp 32 miliar, untuk membangun intake air baku di Lubuk Paraku dengan kapasitas 55 liter per detik,” jelas Dirut.

Dan, mutu air bersih yang dialirkan ke masyarakat pun sebut Hendra terus dijaga dengan ketat oleh perusahaan, serta sudah sesuai dengan Permenkes No 736/MENKES/PER/VI/2010 dan Permenkes No 492 Tahun 2010.


Dalam hal distribusi air bersih, salah satu terobosan dan inovasi  yang dilakukan oleh manajemen adalah membuat Zona Air Minum Prima (ZAMP), yang merupakan sistem penyediaan air siap minum yang berada di satu kawasan perumahan.


Produk yang diluncurkan akhir 2019 ini telah beroperasi di Perumahan Jala Utama yang berlokasi di Taban, bersebelahan dengan Instalasi Pengolahan Air (IPA) yang baru, yaitu IPA Taban II.


Selain ZAMP, manajemen juga memberikan layanan kepada masyarakat berupa penyediaan air siap minum  di beberapa tempat umum seperti di RSUP Dr. M. Djamil, RSUD Dr. Rasidin dan kantor Balaikota Padang.



“Produk terbaru , Perumda Air Minum Kota Padang juga telah meluncurkan air minum dalam kemasan. Launchingnya sudah dilakukan oleh Bapak Walikota Padang H Mahyeldi bertepatan dengan HUT ke 46,” jelasnya.


Agar distribusi air tak lama terganggu, upaya yang dilakukan yakni selalu sigap dalam melakukan perbaikan kebocoran pipa. Tim Unit Reaksi Cepat (URC) selama ini dinilai gesit dalam menuntaskan masalah kebocoran di lapangan. Tim khusus ini siap 24 jam.


Dalam pelaksanaannya, jika pekerjaan perbaikan jaringan memakan waktu lama, Perumda Air Minum akan mendatangkan mobil tangki ke rumah pelanggan sebagai antisipasi krisis air bersih selama pengerjaan perbaikan jaringan.



Kemudahan Administrasi

Terobosan lain juga dilakukan menyangkut kemudahan administrasi dalam pembayaran rekening air. Caranya adalah membayar dengan menggunakan aplikasi perbankan, baik untuk transasi pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), E-Banking, Tokopedia, Goojek, Shopee dan lainnya.


Walaupun demikian, pembayaran manual dengan datang langsung ke kantor pusat masih tetap dibuka selama hari kerja. Sebagai bentuk service tambahan, pada libur nasional sekalipun, pelayanan pembayaran rekening manual masih tetap dibuka.


Layanan lain yang juga menjadi perhatian perusahaan adalah menyangkut proses administrasi pendaftaran pelanggan baru selama ini yang tidak berbeli-belit. Tidak hanya pelanggan umum, namun juga pendaftaran program sambungan untuk MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah).


Untuk pendaftaran pelanggan baru, calon pelanggan bisa datang langsung ke kantor pusat, membayar biaya administrasi sambungan. Selang beberapa hari, pemasangan pun dilakukan. Selain secara manual, calon pelanggan juga bisa mengajukan sambungan baru melalui online dengan cara mengisi aplikasi yang dilengkapi scan KTP dan Kartu Keluarga. Semuanya sangat mudah.


Dedikasi Untuk Masyarakat

Selain mampu memberikan dedikasi terbaik terhadap pelanggan, Perumda Air Minum Kota Padang juga mewujudkan dedikasi kepada masyarakat, terutama bagi warga tidak mampu di daerah sumber air (intake).


Sebagai satu-satunya BUMD milik Pemerintah Kota Padang, PDAM Kota Padang selalu melaksanakan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang merupakan bentuk kepedulian social perusahaan (Corporate Social Resposibility) kepada masyarakat. Kegiatan tersebut di antaranya:


1. Pemberian Air Gratis kepada masjid dan mushalla selama bulan Ramadhan

2. Program biaya sambungan murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

3. Pendistribusian air gratis untuk masyarakat korban bencana.

4. Pembangunan hidrant umum dan kran umum.

5. Penyediaan depot air siap minum gratis untuk masyarakat.

6. Pemberian bea siswa.

7. Penyerahan hewan kurban kepada masyarakat.

8. Pelayanan tangki air gratis.

9. Pembinaan sejumlah cabang olah raga, di antaranya, renang, sepak bola, tinju, gulat, karet, dan lain-lain.



Dedikasi itu terlihat dari Perumda Air Minum Kota Padang meresmikan sebuah rumah layak huni di kawasan Gadut, Limau Manis Selatan. Rumah ini merupakan hasil bedah rumah yang diselenggarakan Perumda ini.


Hebatnya, anggaran sebesar Rp.50 juta untuk pembangunan rumah ini tidak dibebankan ke perusahaan. Dana tersebut dihimpun dari zakat dan infak seluruh karyawan. Program ini kabarnya akan menjadi agenda tetap. Jika terus dilanjutkan, tentunya kehadiran Perumda Air Minum terutama di kawasan intake akan semakin dirasakan masyarakat.


Selain bedah rumah, dedikasi lainnya adalah senantiasa melakukan kurban setiap Idul Adha.  Pada hari raya kurban tahun ini, Perumda Air Minum Kota Padang menebar hewan kurban sebanyak 27 ekor sapi dan 10 ekor kambing kepada beberapa masjid dan mushala di Kota Padang.


Sama halnya dengan bedah rumah, sumber dana kurban ini juga berasal dari karyawan. Setiap tahunnya ratusan karyawan ikut andil dalam pengumpulan dana kurban yang dipotong langsung dari gaji yang diterima setiap bulan.


Tantangan 

Capaian Perumda Air Minum Kota Padang dalam pelayanan dan keberhasilan melewati sederet tantangan di tahun 2020 diharapkan tidak membuat perusahaan ini besar kepala.

Tantangan di 2021 tentunya akan semakin berat. Tidak hanya menyangkut kualitas pelayanan, namun juga berkaitan dengan peningkatan kualitas produk. Dalam hal ini tak hanya air bersih, namun juga air yang bisa langsung diminum.


“Masyarakat Kota Padang tentunya menginginkan, ketika membuka kran, air yang disuplai Perumda Air Minum Kota Padang bisa langsung diminum sehingga tidak perlu lagi dimasak. Insya Allah sedikit demi sedikit kita wujudkan keinginan itu,” pungkas Hendra.


Dan sisilain yang tidak bisa untuk dipungkiri, melalui sentuhan tangan dingin Hendra Febrizal CS ini, telah menjadikan Perumda AM Kota Padang sebagai percontohan dan barometer Perusahaan sejenis di Sumbar, hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya perusahaan Daerah Air Minum yang ada di Kabupaten/ Kota didalam dan luar Provinsi Sumatera Barat melakukan studi ke perumda ini.***ef

Gubernur Mahyeldi Bantu Masjid Taqwa Lubuk Juangan dalam Kunjungan Safari Ramdhan di Pasbar

By On Rabu, April 21, 2021

 

 Gubernur Sumbar, Mahyeldi serahkan bantuan dalam Safari Ramdhan di Pasbar


Pasbaaman Barat, prodeteksi-- Gubernur Sumatera Barat (Sumbar), Mahyeldi didampingi Komisaris Utama PT. Semen Padang, Pimpinan Bank Nagari Sumbar dan Kepala Biro Bina Mental dan Kesra melakukan kunjungan safari ramadhan ke Masjid Taqwa Jorong Lubuk Juangan, Nagari Sungai Aua Kecamatan Sungai Aur, Selasa (20/4/2021).


Kunjungan orang nomor Satu di Sumbat tersebut turut didampingi oleh Bupati Pasaman Barat (Pasbar) Hamsuardi beserta segenap kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD).


Dalam sambutannya Gubernur Mahyeldi menyampaikan, dalam 4 (Empat) tahun ke depan Pemerintah Provinsi Sumbar akan fokus terhadap pembangunan irigasi untuk mendukung perkembangan sektor pertanian sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani.


Selanjutnya sektor peternakan juga menjadi fokus bagi Gubernur Mahyeldi untuk dikembangkan. 


"Kebutuhan produksi jagung Sumbar mencapai 1600 ton per hari. Insya Allah Pasbar bisa jadi penghasil jagung terbesar. Kita ingin swasembada jagung. Kita akan bangun food estate dengan luas lahan 7.500 ha untuk produksi jagung dan lainnya di Pasbar," papar Mahyeldi.


Selain itu, Mahyeldi juga menegaskan bahwa pihaknya akan serius dalam meningkatkan pendapatan petani, penguatan UMKM, sektor pendidikan dan pariwisata juga akan menjadi perhatian serius.


"Mudah-mudahan kita bisa bersinegi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai kekufuran mendekatkan kita kepada kekafiran. Kita berantas dengan meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan sektor pendidikan dan pariwisata. Insya Allah yang kita kedepankan untuk membangun Sumbar ke depan adalah semangat kebersamaan," tutur Mahyeldi.


Selain itu, keberadaan generasi muda juga menjadi perhatian Mahyeldi. Dalam rangka menghadirkan generasi yang berkualitas, pemerintah dan masyarakat harus bersinergi. Apabila masyarakat dapat memberikan dukungan, pemerintah memberikan fasilitas. Jika komponen tersbeut bagus menurutnya, maka generasi muda ke depan akan lebih baik.


 "Tugas orang tua adalah membimbing anak-anaknya. Mengajak dan memberikan dukungan bagi mereka untuk memakmurkan masjid. Jika ingin daerah ini pembangunannya lancar, maka harus dihadirkan rasa semangat cinta tanah air, cinta rakyat dan cinta masjid. Makanya mari kita bawa generasi muda kita ke masjid," imbuhnya.


Sementara itu, Bupati Pasaman Barat Hamsuardi menyampaikan ucapan terima kasih atas 

kunjungan Gubernur Mahyeldi ke Pasbar. Kehadiran gubernur ke Pasbar diyakini sebagai perhatian khusus, karena pada hari yang sama beliau masih ada agenda kerja di Jakarta.


"Saya ucapkan terima kasih kepada bapak gubernur atas kehadiranya di Pasbar. Ini pasti melewati perjuangan yang berat. Namun beliau masih semagat melanjutkan perjalanan ke Pasbar dan menjadi imam salat Isya bersama-sama masyarakat Pasbar," ungkap Hamsuardi.


Disamping itu, mengingat kondisi Masjid Taqwa Lubuk Juangan masih dalam kondisi memprihatinkan, Hamsuardi berharap kepada gubernur agar masjid tersebut mendapatkan dukungan dana pembangunan agar dapat segera dituntaskan pembangunannya.


"Kami berharap kepada gubernur agar membantu pembangunan masjid ini. Mari kita jaga kamanan dan ketertiban sehingga masyarakat dapat menjalankan ibadah puasa dengan khusyuk,"imbuhnya.


Di akhir kunjungan safari ramadhan tersebut, Gubenur Sumbar Mahyeldi menyerahan bantuan dana senilai Rp 20 juta dari Pemerintah Provinsi untuk pembangunan Masjid Taqwa Lubuk Juangan, serta Rp 7,5 juta dari PT. Semen Padang.


Sedangkan Bupati Hamsuardi menyerahkan bantuan dana Rp 10.000.000 dari Pemkab Pasbar dan Rp 10.000.000 melalui dana pribadi untuk mendukung pembangunan Masjid Taqwa Jorong Lubuk Juangan.***kf/iz

Diterpa Issu Negatif, Ketua DPRD Parizal Hafni Tetap Kooperatif dan Taat Hukum

By On Selasa, April 20, 2021


 

 Ketua DPRD Parizal Hafni bersama pihak Polres dalam Ketarangan Pers pada Wartawan


Pasaman Barat, prodeteksi.com----- Kerap diterpa issu negatif, personal kepemimpinan Ketua DPRD Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) Provinsi Sumatera Barat, Parizal Hafni, ST mungkin sedang diuji. Namun ia tetap tegar dan sabar serta kooperatif dan tatat hukum.

 

Seperti halnya terkait peristiwa di Kantor Gerindra yang terjadi Senin malam (19/04/2021). Menurut Ketua DPRD Parizal Hafni,  hal itu hanya kesalahpahaman. Itupun telah ia klarfikasi dan ia sampaikan pada wartawan dan masyarakat ketika itu.


  “Persoalan itu sudah selesai dan telah saya klarifikasi. Itu hanya terjadi kesalahpahaman saja," tegasnya, dalam keterangan persnya bersama pihak Polres Pasbar, Selasa (20/04/2021).


Terkait adanya laporan masyarakat mengenai penyalahgunaan narkoba di Kantor Gerindra waktu itu, telah diperiksa oleh Tim BNNK dan Polres Pasbar. Ternyata hasilnya tidak ada dan tidak terbukti. Parizal Hafni pun berkenan di test urine pada pagi harinya, Selasa (20/04/2021) dan hasilnya juga negatif.

 


Kepala Kepolisian Resor (Polres) Pasbar, AKBP Sugeng Hariyadi juga menegaskan bahwa Ketua DPRD Pasaman Barat, Parizal Hafni tidak terindikasi memakai narkoba.


"Saya tegaskan setelah melakukan pemeriksaan di Kantor DPC Gerindra tidak ditemukan bukti narkoba dan hasil tes urinenya pagi ini negatif," tegasnya di Simpang Empat, Selasa.


  Ia juga mengucapkan terima kasih kepada Parizal Hafni yang telah memberikan keleluasaan untuk memeriksa pengecekan di Kantor Gerindra dan juga bersedia melakukan tes urine.

 

“Awalnya Senin (19/4) sekitar pukul 20.30 WIB ada informasi dari masyarakat bahwa ada dugaan penyalahgunaan narkoba di Kantor Gerindra. Setelah itu dilakukan pemeriksaan, hal itu tidak terbukti. Namun ketika itu berkumpul masyarakat mempertayakan kegiatan yang sedang berlangsung, “ujarnya.

 

Ketua BNNK, Irwan Effendry juga menegaskan dari hasil penggerebekan tidak ditemukan narkoba dan bukti lainnya.


"Saat itu ketua sangat koperatif. Ia membukakan pintu dan mempersilahkan memeriksa kantor Gerindra. Adapun seorang stafnya disana saat itu berpakaian lengkap," katanya, sebagaimana dikutif sumbarantaranews.com.


Sementara itu Ketua DPRD Pasbar, Parizal Hafni menjelaskan, terkait keberadaan salah seorang staf nya di kantor itu hanya salah paham. Karena ketika itu ada tugas yang sedang dikerjakan permintaan kantor Kesbangpol mengenai persyaratan partai yang harus diselesaikan. Ada bahan yang akan diperiksa oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)  dengan batas terakhir hari ini, Selasa (20/4).


“Ketika itu, Senin malam selepas sholat Isya saya menghubungi staf saya yang sedang berbuka di Bernama untuk mengerjakan tugas itu karena dia yang bisa memakai komputer, saya nggak bisa. Lantas baru sampai di situ saya sholat kemudian dia sholat, sudah ramai di depan, “katanya.



Lebih lanjut ia menuturkan, “ karena ramai di depan, saya langsung kesana, ada apa? Saya ketemu Pak Kasat Narkoba dan Kepala BNKK, “Ada apa pak ?  Langsung pak Kasat Narkoba sampaikan “ kami ada laporan masyarakat bahwa di Kantor ini  ada penyelahgunaan narkoba, “ungkap Parizal menirukan.


Setelah itu, Parizal Hafni mempersilakan untuk diperiksa ke dalam kantor Gerindra. “Baik silakan pak, silakan naik , silakan diperiksa, “ sebutnya. Ia pun menyampaikan bahwa dirinya juga sangat anti dengan narkoba .


 Kemudian jelasnya, selesai pemeriksaan setelah kembali ke bawah, masyarakat sudah berkumpul sangat banyak. Saat itu justru mereka mempertanyakan hal lain , bukan lagi kasus narkoba. Tapi mengapa ada wanita di kantor itu bekerja malam.


 “Saya katakan, kantor partai itu sama dengan kantor DPRD, perlu siang, perlu malam, kami nggak ada persoalan.  Karena kami harus bekerja siang dan malam kalau harus diperlukan dan itu tidak harus dilaporkan karena sudah sesuai dengan aturan partai, “jelasnya lagi.


 

Ia menegaskan, tidak ada persoalan, tidak ada yang lain-lain dan yang aneh-aneh dengan stafnya itu. “ Kami berdua waktu itu tdak ada persoalan, lalu karena ramai di luar, saya buka pintu saya baru selesai sholat tidak ada yang aneh-aneh, ajudan saya di depan sama sopir. Jadi saya bukan berdua saja di situ. Mereka duduk  di depan minum kopi, “ katanya.


Terangnya lagi, “Saya kira nggak ada masalah. Ramai persoalan waktu itu, sehingga sudah saya klarifikasi  dan dipanggil orangtua staf saya, dijelaskan  maka dibuatlah disitu dalam suatu keterangan kesalah pahaman. Ditanda tangani oleh saya, berikut kepala jorong dan Bamus dan orang tua staf saya. Dan itu sudah dibacakan di depan para wartawan dan masyarakat tadi malam dan saya anggap itu sudah selesai, “ sebutnya mengakhiri. ***irz


Henny Widyaningsih, Komisioner BNSP Minta Media Lakukan Kewajiban Koreksi.

By On Selasa, April 20, 2021

 . 

 Henny Widyaningsih, Komisioner BNSP
 


Jakarta, prodeteksi.com----Menyusul maraknya pemberitaan terkait judul :”Latih Asesor Wartawan, BNSP Larang Dewan Pers (DP) Sertifikasi Wartawan”, Komisioner Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) melakukan klarifikasi. Saat menghubungi Ketua LSP Pers Indonesia, Henny menyampaikan bahwa dirinya tidak membuat pernyataan melarang Dewan Pers mensertifikasi wartawan. Demikian Press Realis yang diterima redaksi, Selasa (20/4/2021), 


"Hal itu bisa dibuktikan bahwa di dalam pengarahan yang dilakukan saat pembukaan pelatihan calon asesor kompetensi BNSP  tersebut saya tidak mengeluarkan pernyataan melarang Dewan Pers sertifikasi wartawan. Jadi,  media yang membuat kesimpulan dan membuat berita dengan judul seperti itu,” ujar Henny. Untuk itu Henny meminta media dapat melaksanakan kewajiban koreksi.


Kutipan di atas adalah salah satu pernyataan Henny dalam acara tersebut  dan  pernyataan  yang benar  adalah : “ Jika Dewan Pers ingin  memberikan sertifikasi  kompetensi kerja sesuai dengan Sistem Nasional Sertifikasi  Kompetensi Kerja, maka Dewan Pers mendirikan LSP yang dilisensi BNSP sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia  Nomor 10 tahun 2018 tentang BNSP dan atau merekomendasi pendirian LSP di bidang kewartawanan sesuai dengan ketentuan lisensi LSP," urai Henny. “Dan ini yang sedang di harmonisasi   agar LSP dapat dibentuk di Dewan Pers, untuk memastikan dan memelihara  kompetensi  profesi kewartawanan,” terangnya.


Henny juga menjelaskan, BNSP prinsipnya melakukan sertifikasi kompetensi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang  Ketenagakerjaan. “Dinyatakan bahwa BNSP mempunyai  otoritas dalam penyelenggaraan sertifikasi kompetensi kerja secara nasional," ujarnya lagi.


“LSP Pers Indonesia  harus  melalui tahapan asesmen lisensi dan penyaksian uji dari BNSP    untuk  mendapatkan lisensi BNSP.  Jika telah mendapat lisensi BNSP , LSP ini dapat  menjadi  LSP  pertama di bidang kewartawanan di Indonesia  dan menjadi bagian dari pemerintah dalam hal ini BNSP untuk melakukan sertifikasi kompetensi profesi kewartawanan," ujarnya. ***

Henny S Widyaningsih 

(Anggota BNSP)

Akrobatik Manajemen, Siapa Diuntungkan Dibaik Restrukturisasi Polis Konsumen Jiwasraya?

By On Selasa, April 20, 2021

 

OPINI

  


Oleh:  Latin, SE


Jakarta - Selama lebih dari 22 tahun, yakni dari awal memasuki era reformasi 1998, Perseoran Jiwasraya dibiarkan berjalan sendiri, mengobati, dan menyembuhkan lukanya sendiri. Ujian-ujian yang dihadapi perusahaan asuransi milik Pemerintah ini dari tahun ke tahunnya teramat berat. Mulai dari krisis moneter melanda dunia tahun 1998, hingga terjadi resesi ekonomi dunia 2020 akibat dari pandemi Covid-19, semua itu menjadi pemicu munculnya berbagai persoalan bagi BUMN Jiwasraya ini.


Kondisi yang tidak menguntungkan tersebut berdampak kepada seluruh elemen di Jiwasraya, terutama bagi para konsumen atau nasabahnya. Dampak penurunan kemampuan perusahaan sedikit banyak telah berimbas kepada menurunnya daya tahan ekonomi warga, menurunkan kemampuan atau daya beli mereka terhadap produk barang dan jasa yang dibutuhkan sehari-hari.


Kondisi itu juga seperti memaksa segelintir pihak berkepentingan untuk memainkan peran, mencoba bermain-main dengan memaksa menutup paksa Perseoran Jiwasraya, dengan berbagai dalih akrobatiknya. Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan karena akan menimbulkan kegaduhan publik dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintahan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia.


Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Perseroan Jiwasraya, selama perjalanannya itu seolah-olah seperti dianak-tirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam menjalankan operasional bisnisnya. Hal itu juga terlihat pada penanganan krisis yang dihadapi Jiwasraya saat ini. Pemerintah seakan abai untuk membantu BUMN dimaksud dalam menyelesaikan persoalannya. Padahal, ada lebih dari 5,3 juta rakyat Indonesia yang terdampak langsung dari masalah akut yang dihadapi Jiwasraya. Angka ini jauh lebih besar jika para nasabah dihitung bersama anggota keluarganya, dengan perkiraan rata-rata 4-5 orang per nasabah.


Pada awalnya, Jiwasraya sebenarnya hanya kesulitan likuiditas. Hal ini ditengarai berawal pada saat Dirut Jiwasraya tampil di ruang publik mengumumkan bahwa Perusahaan Asuransi Jiwasraya mengalami gagal bayar polis bancassurance sebesar 802 miliar pada Oktober 2018 atau sekitar 2 tahun yang lalu. Bancassurance adalah produk asuransi yang dipasarkan melalui layanan bank, atau dengan kata lain, bank yang bekerjasama dengan perusahaan asuransi menawarkan produk asuransi kepada nasabahnya sendiri.


Pertanyaan besarnya adalah apa sebenarnya motivasi utama Dirut AJS (Asuransi Jiwasraya) melakukan tindakan seperti itu? Apakah ada aturannya dalam UU Perseoran terkait perlunya mengumumkan kepada publik tentang kondisi defisit keuangan dan kegagalan pembayaran polis oleh perusahaan? Jika tidak ada, apakah itu inisiatif sendiri atau ada pihak tertentu yang memerintahkannya?


Sejak pengumuman gagal bayar AJS atas polis nasabah, suasana kebatinan para pemegang polis Jiwasraya menjadi tidak menentu, resah, dan gelisah terhadap keamanan dana simpanan polisnya yang ditempatkan pada perusahaan milik negara itu. Hal ini sangat disesalkan oleh banyak pihak, terutama para nasabah AJS. Padahal, PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) yang berdiri sejak 31 Desember 1859, atau 162 tahun lalu, itu telah melayani negeri dan mengedukasi bangsa Indonesia akan pentingnya memiliki polis asuransi jiwa sebagai bentuk antisipasi resiko terkena musibah di masa depan, terutama resiko keuangan di kemudian hari.


Jiwasraya hakekatnya adalah sebuah simbol perjuangan bangsa Indonesia. Melalui perusahaan asuransi milik bangsa Indonesia ini, sebuah kepercayaan telah dibangun dengan susah-payah, sangat melelahkan, dan meniti proses yang sangat panjang, hingga berdarah-darah dalam mempertahankan sebuah Core Value kepercayaan industri Asuransi Jiwa (public trust). Namun, dengan seketika saja semua hasil perjuangan itu dihancurkan. Kepercayaan publik terhadap perasuransian dalam negeri telah dengan mudah diluluh-lantakkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.


Penghianatan atas mandat yang diberikan Pemerintah kepada para pemimpin Jiwasraya dari tahun 2018 hingga kini telah secara langsung menimbulkan prahara baru pada industri perasuransian Indonesia. Para pemegang polis berbondong-bondong mendatangi Kantor Jiwasraya terdekat yang tersebar di 74 kantor cabang operasional di 34 provinsi di seluruh Indonesia untuk mengambil dananya masing-masing. Mereka berprinsip lebih baik menarik dananya segera sebelum perusahaan benar-benar kolaps dan tidak mampu membayarkan polisnya.


Fenomena itu menyebabkan keadaan yang pada awalnya besaran gagal bayar polis saluran distribusi bancasaurance hanya sedikit, yakni 802 miliar, kini nilai gagal bayar AJS terhadap polis nasabah mencapai angka yang fantastis di kisaran 16,8 triliyun. Angka inilah yang diduga kuat menjadi acuan hasil audit BPK RI atas perhitungan kerugian negara (PKN) beberapa waktu lalu.


Kejadian petaka gagal bayar polis Jiwasraya tersebut selanjutnya telah menimbulkan dampak sistemik bagi perekonomian nasional. Hal ini berdasarkan statement BPK RI melalui pengumumannya di beberapa media yang merekomendasikan untuk tidak menutup atau membubarkan Perseroan Jiwasraya. Dalam pernyataannya, BPK RI berpendapat bahwa Jiwasraya perlu diselamatkan mengingat legendanya, ukuran perusahaan yang sangat besar dengan jumlah nasabah terbesar di Indonesia yakni 5,3 juta orang, dan perjalanan sejarah Jiwasraya yang sangat panjang. "Jiwasraya harus diselamatkan agar tidak berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional," kata ketua BPK RI, Agung Firman Sampurna, dalam keterangan resmi kepada media usai melakukan audit beberapa waktu lalu.


Upaya penyehatan dan penyelamatan BUMN Asuransi Jiwasraya versi Manajemen AJS patut dipertanyakan. Untuk diketahui bahwa Manajemen AJS bersama Kemenkeu RI dan Kementerian BUMN, serta telah melalui konsultasi dengan Komisi VI dan Komisi XI DPR RI yang membidanginya, sudah mengajukan proposal Rencana Penyehatan Keuangan Jiwasraya (RPKJ) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).


Dalam proposal RPKJ tersebut terdapat 3 program yang diusulkan oleh Manajemen AJS sebagai Upaya Penyehatan dan Penyelamatan BUMN Asuransi Jiwasraya, yakni sebagai berikut:


Pertama: Penegakan Hukum


Upaya penegakan hukum saat ini sedang berproses di Kejaksaan Agung. Perkembangan terkini, sudah diputuskan vonis hukuman seumur hidup terhadap para terdakwa yang diduga terindikasi melakukan Tindak Pindana Korupsi (Tipikor) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dengan sangkaan kerugian negara mencapai 16,8 triliyun.


Atas kasus dan vonis itu banyak kalangan mempertanyakan, apakah Perhitungan Kerugian Negara sebesar 16,8 triliyun, yang harus segera ditutup oleh Pemerintah RI, itu benar sebagai uang milik negara atau dana milik para pemegang polis? Jika dana 16,8 triliyun itu merupakan milik para pemegang polis, apakah itu termasuk sebagai bentuk kerugian negara?


Upaya penyelamatan dan penyehatan Jiwasraya menimbulkan paradok's karena penyelesaian bail-in (talangan) dana sebesar antara 22-26 triliyun dari negara harus mampir dulu diberikan ke perusahaan pembiayaan BPUI/IFG sebagai induk Holding BUMN Perasuransian dan Penjaminan. Jika terdapat kerugian negara sebesar 16,8 triliyun berdasarkan audit investigasi BPK, tentunya yang ditalangi dananya dari pemerintah seharusnya sebesar kerugian saja, bukan sebesar 22-26 triliyun.


Hal ini tentunya menimbulkan dugaan-dugaan yang tidak baik pada publik. Muncul spekulasi dan opini yang pada akhirnya dapat diartikan sebagai pemborosan uang negara dalam aksi penyelamatan Perseroan Jiwasraya. Sebagian masyarakat justru berprasangka lebih jauh bahwa kebijakan bail-in tersebut sengaja dilakukan untuk membuka peluang adanya bancakan baru dari dana talangan Jiwasraya dalam waktu dekat.


Kedua: Aksi Penyelamatan Korporasi (Corporate Action)


Dalam implementasinya, PT. Asuransi Jiwasraya bersinegeri dengan beberapa BUMN membentuk Anak Usaha dari BUMN Asuransi Jiwasraya yang dinamakan PT. Jiwasraya Putera dengan tujuan menjadi sekoci penyelamat arus kas keuangan bagi induknya yang sedang mengalami kesulitan likuiditas saat itu. Namun sangat disayangkan, Jiwasraya Putera yang baru seumur jagung berdiri harus kandas di tengah jalan. Ini dibuktikan dengan adanya pencabutkan ijin operasional oleh OJK pada 25 September 2020. Dari peristiwa tersebut, dapat disimpulkan bahwa program Corporate Action telah gagal, yang oleh karena itu kinerja Direksi Jiwasraya seharusnya dievaluasi oleh Kementerian BUMN, bukan justru dilindungi dan didukungnya. Hampir dipastikan ada sesuatu misi terselubung dan disembunyikan di balik semua ini.


Publik patut meminta keterangan terkait siapa yang mengangkat dan menempatkan Hexana Tri Sasongko, yang berasal dari profesional bankir, untuk memimpin Jiwasraya. Hexana sebagai Direktur Utama Jiwasraya dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab yang menimbulkan masalah baru di tubuh Perseroan Jiwasraya sehinga terjadi prahara yang merusak industri asuransi tanah air. Ketika masalah yang lama belum selesai dalam upaya penyehatan Perseroan Jiwasraya, seharusnya dicarikan pengurus yang memiliki pengetahuan dan keahlian di bidangnya sesuai dengan porsi kapasitas jabatan pada Industri Perasurasian. Bukan justru menempatkan orang yang awam dan tidak memiliki rekam jejak pengalaman pada bidang industri yang dipimpinnya. Sehingga dampaknya menimbulkan masalah tambahan bagi perusahaan akibat tidak profesionalnya Pejabat Direksi Jiwasraya yang ditempatkan saat ini.


Penunjukan Hexana sebagai pimpinan PT. Asuransi Jiwasraya tidak sejalan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 73/POJK.05/ 2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian. Pada pasal 6 ayat (4) disebutkan bahwa seluruh anggota Direksi Perusahaan Perasuransian harus memiliki pengetahuan sesuai dengan bidang usaha perusahaan yang relevan dengan jabatannya.


Ketiga: Restrukturisasi Polis Konsumen Jiwasraya


Program restrukturisasi polis nasabah Jiwasraya yang dialihkan ke new company, yakni kepada IFG Life, dalam implementasinya menimbulkan kerugian pada 5,3 juta konsumen Jiwasraya. Kebijakan restrukturisasi tersebut tidak menerapkan prinsip asas keadilan dan asas manfaat bagi para pemegang polis. Bahkan, dari perspektif hukum, kebijakan itu dinilai melawan hukum, baik terkait praktek-praktek kotor di dalamnya maupun soal pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan semangat berasuransi.


Hal ini akan menjadi preseden buruk bagi sektor jasa keuangan, khususnya pada industri perasuransian Indonesia. Apabila restrukturisasi polis konsumen Jiwasraya tetap dijalankan oleh manajemen AJS dengan segala akrobatiknnya, kondisi ini dapat dipandang sebagai suatu upaya mematikan bisnis Perseroan Jiwasraya dengan merugikan para konsumen Jiwasraya. Hal tersebut tentunya tidak sejalan dengan upaya Pemeritah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional.


Publik harus tahu bahwa permasalahan mendasar Jiwasraya adalah pada pemilihan kebijakan Restrukturisasi Polis Konsumen yang menjadi penyebab sengkarut yang berkepanjangan ini. Mengapa harus harus ada opsi Restrukturisasi Polis Konsumen Jiwasraya, yang secara jelas itu salah alamat ? Bagaimana mungkin kerugian perusahaan asuransi yang diakibatkan oleh kesalahan manajemennya dibebankan kepada nasabah? Apakah masuk akal misalnya, sebuah lembaga keuangan seperti bank membebankan biaya penyehatan bank kepada nasabahnya melalui pemotongan (restrukturisasi rekening nasabah) ketika bank tersebut mengalami kerugian?


Kebijakan Restrukturisasi Polis Konsumen, dalam bentuk pemotongan manfaat polis para nasabahnya, tidak boleh diterapkan pada Perseroan Jiwasraya. Kebijakan semacam itu, dan berbagai kebijakan lainnya yang akan berdampak langsung kepada nasabah, tidak semestinya diputuskan secara sepihak tanpa mengajak berdialog para Pemegang Polis Jiwasraya. Sebagai bagian utama dari perusahaan plat merah Jiwasraya, seluruh nasabah seharusnya diajak berdialog terlebih dahulu. Amat tidak dibenarkan pihak perusahaan mengambil kebijakan secara sepihak yang merugikan para nasabah.


Manajemen AJS wajib memahami dan mentaati Undang-Undang Perasuransian Nomor 40 Tahun 2014, terutama pasal (1) tentang perjanjian dua belah pihak. Dalam hal klausa baku yang tidak boleh diubah secara sepihak, yang mewajibkan adanya persetujuan kedua belah pihak, maka kebijakan program Restrukturisasi Polis Konsumen tersebut harus batal demi hukum dan UUD 1945. (*)


(*) Penulis adalah Sekjend FNKJ (Forum Nasabah Korban Jiwasraya)

Email: fnkjgroup@gmail.com

Twitter: @FNKJGROUP

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *