HEADLINE NEWS

Menghianati Sejarah, Perlukah Mandat Penguatan Peran Dewan Pers Dicabut ?

By On Rabu, April 21, 2021

OPINI


Oleh : 

Heintje Mandagi 

(Ketua Umum DPP SPRI)


BERAGAM komentar dan pendapat  di berbagai grup aplikasi Whatsapp memenuhi kolom komentar di grup WA wartawan se Indonesia terkait pelaksanaan pelatihan asesor kompetensi yang diselenggarakan LSP Pers Indonesia di Jakarta baru-baru ini. Judul berita menjadi topik hangat yang dibicarakan. Ini menunjukan bahwa dinamika dalam mejalankan profesi itu sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan wartawan.  


Tidak bisa dipungkiri bahwa ada kecenderungan terjadi polarisasi dalam kehidupan pers di Indonesia. Ada kubu yang dipotret abal-abal dan kubu yang dipotret sebagai wartawan profesional dan kompeten. Situasi dan kondisi ini terus bergulir sejak tiga tahun terakhir ini. Dan memuncak pada pelaksanaan pelatihan asesor kompetensi yang diikuti puluhan wartawan dari kelompok yang dianggap abal-abal. Kelompok ini berusaha membuktikan bahwa potret abal-abal yang disematkan selama ini justeru menjadi peluang dan tantangan untuk membenahi kehidupan pers Indonesia ke arah yang lebih baik. Beberapa wartawan dari kelompok yang dilabel profesional pun ikut juga diajak menjadi peserta pelatihan ini. Bahkan salah satu pesertanya merupakan penguji kompetensi yang berasal dari Dewan Pers. Sebagian dari peserta pelatihan asesor ini memegang sertifikat Kompetensi Wartawan Utama versi Dewan Pers. 


Hal ini cukup membuktikan bahwa praktek sertifikasi kompetensi bidang wartawan yang dilaksanakan selama ini oleh kelompok yang diangap profesional ternyata melanggar aturan perundang-undangan dan berimplikasi pidana. Penegasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjawab persoalan bahwa domain sertifikasi kompetensi ada pada Pendidikan Tinggi berlisensi dan Badan Nasional Sertifkasi Profesi. Dua lembaga ini yang diberi kewenangan sesuai Undang-Undang tersebut di atas. 


Pada pasal 44 UU Pendidikan Tinggi bahkan secara tegas menyebutkan : “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi.” Artinya aturan ini belaku di seluruh Indonesia bagi semua orang, semua organisasi, dan semua penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi. Hukuman atas pelanggaran pasal ini pun tidaklah main-main sebagaimana diatur pada Pasal 93 Undang-Undang ini yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah. 

Terlepas dari semua itu, kita menengok sedikit ke belakang, bahwa Indonesia pernah melewati sejarah kelam kemerdekaan pers. Dewan Pers dan terutama Departemen Penerangan RI yang dianggap membelenggu kemerdekaan pers di era Orde Baru akhirnya tumbang dan dibubarkan. Tidak ada lagi Depen RI dan Dewan Pers menyusul Undang-Undang pokok Pers era Orde Baru dinyatakan tidak berlaku. 


Draft Undang-Undang Pers  tahun 1999 kemudian dipersiapkan oleh para pejuang kemerdekaan pers bersama-sama dengan puluhan pimpinan organisasi-organisasi pers, termasuk Ketua Umum SPRI ketika itu dijabat Lexy Rumengan. 


Dalam draft asli UU Pers Tahun 1999 itu tadinya tidak ada yang mengatur tentang Dewan Pers. Menurut pengakuan dua saksi sejarah yang masih hidup, Lexy Rumengan, yang kini berdomisili di Amerika Serikat, dan Hans Kawengian (Ketua Umum KOWAPPI) bahwa saat pembahasan draft UU Pers tersebut berlangsung, Jacob Utama selaku tokoh pers senior, mengusulkan pasal tentang Dewan Pers disisip di tengah-tengah Undang-Undang dengan tujuan agar ada wadah yang bisa mempersatukan seluruh organisasi pers dalam melindungi kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. 


Usulan itu menurut Kawengian dan Rumengan, sempat mendapat penolakan dari beberapa pimpinan organisasi pers karena trauma dengan masa lalu. Namun karena lobi-lobi yang dilakukan Jacob Utama akhirnya berhasil membuat seluruh peserta menyetujui pasal tentang Dewan Pers dimasukan dalam UU Pers, namun tidak dicantumkan pada Ketentuan Umum Pasal 1 lalu disisip di tengah-tengah Undang-Undang  yakni di pasal 15 agar tidak dominan jika ditempatkan di pasal 1 Ketentuan Umum Undang-Undang Pers. 


Setelah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ini disahkan, Dewan Pers yang kemudian terbentuk, lebih banyak diam dan tidak berfungsi. Organisasi-organisasi pers begitu merdeka dan dominan menjalankan aktifitas pegembangan kemerdekaan pers dan peningkatan kualitas pers nasional secara mandiri dan bertanggung-jawab. 


Situasi itu kemudian berubah, ketika pada tahun 2006 Dewan Pers membujuk dan mengajak puluhan pimpinan organisasi pers untuk berkumpul dan membahas konsep tentang penguatan terhadap kelembagaan Dewan Pers melalui kegiatan Lokakarya pada tanggal 13 Agustus 2003 di Jakarta. Dan pada akhirnya 29 pimpinan organisasi pers membuat pernyataan dan sepakat memberi “hadiah” mandat penguatan kelembagaan terhadap Dewan Pers karena menganggap perlindungan terhadap profesinya bisa ikut terjamin dengan adanya penguatan peran Dewan Pers.  Sesudah itu terbitlah Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 05/SK-DP/111/2006 tentang Penguatan Peran Dewan Pers.


Namun sayangnya penerapan atau implementasi dari penguatan kelembagaan Dewan Pers ini salah diterjemahkan oleh pengurus Dewan Pers di tahun-tahun berikutnya. Bahkan ketentuan yang disepakati justeru tidak dilaksanakan secara menyuluruh oleh Dewan Pers hingga saat ini. Ada beberapa poin penting dalam isi penguatan kelembagaan Dewan Pers ini justeru dilanggar oleh Dewan Pers. Salah satunya adalah pada poin ke 10, Dewan Pers perlu terus mendorong berlakunya pasal-pasal yang mendukung dekriminalisasi terhadap karya jurnalistik atau tidak menganggap pelanggaran hukum dalam karya jurnalistik sebagai kejahatan.  Pada poin ke 10 huruf d, diatur tentang penerapan sanksi perdata terhadap karya jurnalistik dan hendaknya berupa denda proporsional yang tidak menyulitkan kehidupan pihak pembayar atau membangkrutkan perusahaan yang harus membayar denda, karena putusan hukum yang berakibat demikian serupa dengan putusan politik berupa pembredelan terhadap media pers. Sayangnya poin yang mengatur tentang perlindungan terhadap karya jurnalistik ini tidak dijalankan sesuai mandat dan amanah yang diberikan kepada Dewan Pers. 


Contoh kasus yang menghebohkan jagad pers tanah air, Muhamad Yusuf yang bekerja di media Kemajuan Rakyat dan Sinar Pagi Baru, dikriminalisasi akibat berita yang ditulisnya tentang rakyat yang terzolimi oleh perlakuan perusahaan, justeru direkomendasi Dewan Pers untuk diproses dengan ketentuan hukum lain di luar UU Pers. Almarhum Yusuf pun dikriminalisasi dan ditahan, dan akhirnya tewas dalam tahanan. Dia harus menerima nasib sebagai wartawan yang berita kontrol sosialnya direkomendasi Dewan Pers sebagai “kejahatan” dan layak diteruskan dengan hukum di luar Undang-Undang Pers. 


Pengingkaran terhadap kesepakatan penguatan peran Dewan Pers juga adalah mengenai pembentukan Perwakilan Dewan Pers di berbagai daerah sebagaiamana diatur dalam poin ke 2. Sampai sekarang nyaris tidak ada perwakilan Dewan Pers di daerah yang terbentuk. Kondisi ini yang menyebabkan semua pihak yang merasa dirugikan atau keberatan atas pemberitaan di media akan lebih memilih melaporkan wartawan atau media ke pihak Polisi jika ada sengketa pers, bukannya ke Dewan Pers. Hal itu disebabkan akses untuk melaporkan sengketa pers di daerah tidak ada. Karena keberadaan Dewan Pers hanya ada di Jakarta. Pos pegaduan di daerah tidak ada sama sekali. Akibatnya, kriminalisasi pers makin marak terjadi selang kurun waktu 3 tahun terakhir ini. 


Yang lebih aneh lagi, Dewan Pers membuat peraturan tentang Standar Organisasi Pers dan kemudian menentukan sendiri konstituen organsiasi yang dianggap sesuai standar Organisasi Pers yang dibuatnya. Organisasi-organisasi pers yang dulunya memberi mandat penguatan peran Dewan Pers tidak diakui sebagai konstituen secara sepihak oleh Dewan Pers. Padahal, tanggung-jawab Dewan Pers untuk melakukan asistensi dan pembinaan agar organisasi pers sesuai standar yang ditetapkan bersama. 


Fakta ini telah menjadi sejarah kelam bahwa organisasi-organisasi pers yang memberi mandat kepada Dewan Pers untuk penguatan peran Dewan Pers justeru dikhianati. 


Pola penerapan kebijakan Dewan Pers pun terhadap media-media yang marak bermunculan di seluruh penjuru tanah air hampir sama. Ketika kebijakan Standar Perusahaan Pers diterbitkan, perusahaan pers disuruh mendaftar dan diverifikasi. Lalu yang tidak punya modal untuk mendaftarkan perusahaanya ke Dewan Pers di Jakarta kemudian dilabeli atau dipotret sebagai perusahaan media abal-abal dan didirikan untuk tujuan memeras. 


Tanggung jawab Dewan Pers untuk melakukan pembinaan terhadap kehidupan pers nasional tidak terjadi pada kondisi ini. Dewan Pers malah sibuk memotret media yang belum diverifikasi sebagai media abal-abal. Trik ini untuk menekan media agar berbondong-bondong mendaftarkan medianya masing-masing demi selembar pengakuan sebagai media terverifikasi kendati amanat UU Pers bentuknya adalah hanya mendata perusahaan pers. Tapi terjemahannya adalah memverifikasi perusahaan pers. Itu (verifikasi perusahaan pers) menjadi identik dengan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP di era Orde Baru. Sejarah kelam kemerdekaan pers itu seolah lahir kembali menjelma menjadi bentuk surat bukti Verifikasi Perusahaan Pers.  Undang-Undang Pers tahun 1999 lahir dengan nafas kebebasan pers agar perusahaan pers bebas didirikan tanpa ada persyaratan tambahan, selain syarat Berbadan Hukum Indonesia. Itu sejarahnya dan kehendak pelaku sejarah kemerdekaan pers yang berhasil menyederhanakan pendirian perusahaan pers dari trauma SIUPP masalah lalu.

  

Bahwa memang diakui, penyalahgunaan profesi wartawan dan penyalahgunaan media dengan tujuan memeras atau meneror seseorang terus terjadi di berbagai daerah. Penulis sepakat hal itu tidak boleh terjadi dan harus dihentikan. 

Kemudahan mendirikan perusahaan pers adalah hadiah yang diwariskan pejuang kemerdekaan pers, namun menjadi tanggung jawab kita sekarang ini dalam pelaksananya. Peningkatan kualitas media harus menjadi tanggung jawab semua pihak, yakni wartawan, perusahaan pers, dan terutama organisasi pers dan Dewan Pers. Semua wartawan pasti sepakat bahwa pemerasan dan teror terhadap siapapun menggunakan nama media dan profesi wartawan adalah perbuatan pidana dan tidak terpuji, serta melanggar kode etik jurnalistik. 

 Heintje Mandagie, Ketua DPI dan DPP SPRI


Nah, persoalan lain yakni verifikasi perusahaan pers. Awal mulanya tujuan verifikasi perusahaan pers adalah untuk pendataan dan peningkatan kualitas media. Namun faktanya, implementasinya sudah bergeser menjadi dokumen persyaratan sebagai bukti legalitas perusahaan pers. Penerapan kebutuhan verifikasi perusahaan pers bukan bertujuan untuk peningkatan kualitas media, namun lebih pada azas legalitas yang menyerupai perijinan, atau yang tidak mengantonginya akan diangap tidak layak beroperasi. Faktanya, banyak sekali media terverifikasi DP masih terseok-seok melanjutkan operasionalnya. Bahkan hampir seluruh media di Indonesia, di luar media mainstream, hidup segan mati tak mau. Media terverifikasi Dewan Pers sekalipun tidak menjamin kualitas dan kehidupan medianya diperjuangkan oleh Dewan Pers. 


Pertanyaannya, apakah Dewan Pers menjalankan tugas “Mengembangkan Kemerdekaan Pers” dan “Meningkatkan Kehidupan Pers Nasional” atau hanya sibuk dengan membuat peraturan dan melaksanakan  kegiatan rutin yang tidak bermanfaat secara langsung bagi kehidupan pers nasional ?  


Kenyataannya, selama Dewan Pers dibentuk kembali pada tahun 1999, perusahaan media harus berjibaku sendiri melaksanakaan upaya meningkatkan kehidupan pers nasional. Belanja iklan nasional yang mencapai seratus triliunan rupiah lebih setiap tahun dibiarkan saja oleh Dewan Pers untuk dinikmati hanya oleh segelintir konglomerat media. 


Dewan Pers justeru sibuk membuat aturan legalisasi kerja sama media dengan pemerintah daerah dengan Surat Edarannya yang ditujukan kepada pemerintah agar kerja sama media dengan pemerintah harus media yang terverifikasi Dewan Pers. Tidak sedikitpun menyentuh upaya belanja iklan nasional ikut dinikmati media lokal yang jumlahnya mencapai puluhah ribu. 


Dewan Pers bukannya sibuk mencari solusi agar belanja iklan bisa terserap atau terdistribusi ke daerah-daerah, justeru disibukan dengan menjalankan propaganda negatif terhadap media-media yang belum terverifikasi sebagai media abal-abal dan tidak layak bekerja sama dengan pemerintah. Tak heran, Kementrian Kominfo dengan leluasanya membuat petunjuk tekhnis bagi Dinas Kominfo se Indonesia agar pemerintah daerah menetapkan salah satu persyaratan kerja sama dengan media wajib perusahaannya terverifikasi Dewan Pers. 


Kondisi ini sesungguhnya memalukan dan merusak fungsi sosial kontrol pers terhadap pemerintah. Dewan Pers dan Kemenkominfo telah dengan sadar dan terang benderang melegalkan media ‘menjual’ idealismenya dengan menetapkan kebijakan yang dianggap sah melalui keberlakuan Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/X/2019 tentang Standar Perusahaan Pers dalam persyaratan kerja sama media dengan Pemda. Ironis, tapi ini fakta bukan hoax. Media lokal terjebak dalam kondisi ini karena tawaran belanja iklan tidak ada. Tidak ada pilihan lain selain “maaf” menjual idealisme pers dengan mengikat kontrak kerja sama dengan pemerintah demi melanjutkan operasional media. 


Dewan Pers seharusnya wajib menjaga independensi media dan wartawan agar tidak terkontaminasi kepentingan pemerintah. Caranya dengan memperjuangkan sumber pemasukan media dari belanja iklan nasional terdsitribusi ke seluruh daerah. Pada kenyataannya lebih dari 100 triliun rupiah belanja iklan nasional setiap tahun tidak ikut dinikmari media lokal dan hanya dikuasai oleh segelintir konglomerat media yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh jari tangan manusia. 

Pada poin ke 5 penguatan peran Dewan Pers , salah satunya diatur tentang standar gaji wartawan dan karyawan pers. Sayangnya, sampai sekarang tidak ada penetapannya dari Dewan Pers berapa standar gaji yang benar dan layak bagi wartawan. Wartawan media mainstream sekalipun terbukti digaji pas-pasan tapi Dewan Pers tidak melakukan apa-apa. Padahal di dalam Pasal 9 UU Pers mengatur kewajiban perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. 


Pada prakteknya, masih ada wartawan yang bekerja di media nasional yang penggajiannya berdasarkan jumlah berita yang naik tayang di medianya. Dan fakta umum yang terjadi adalah hampir sebagian besar media lokal tidak menggaji wartawannya. Apakah ada upaya Dewan Pers mengatasi persoalan-persoalan di atas sebagai langkah mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional ? 


Inilah fakta-fakta sesungguhnya bahwa Dewan Pers telah gagal meralisasikan mandat dan amanat serta fungsi yang diberikan oleh ke 29 Organisasi Pers pada tahun 2006 lalu untuk penguatan peran Dewan Pers. 


Bisa saja seluruh organisasi pers yang berbadan hukum di Indonesia, baik yang menjadi pelaku pemberi mandat penguatan kepada Dewan Pers, maupun organisasi pers yang ada sekarang dan berbadan hukum, mencabut mandat Penguatan Terhadap Peran Dewan Pers. Namun solusinya bukan seperti itu.


Sebagai wartawan yang memiliki pengalaman dari tingkat paling bawah yaitu reporter, penulis melihat kehidupan pers nasional tidak menuju pada peningkatan sejak Undang-Undang Pers tahun 1999 diberlakukan.


Kemerdekaan Pers Indonesia makin terpuruk. Indeks kemerdekaan pers menurut lembaga riset internasional Reporter Without Borders, bahkan pernah menempatkan Indonesia berada pada level bawah.  


Media nasional nyaris tak terlihat dalam melakukan sosial kontrol sampai pada kehidapan masyarakat di level bawah. Potret kemiskinan rakyat di berbagai daerah masih terjadi namun media seolah diam membisu. Pemandangan warga hidup di atas gerobak dan di emperan toko, serta di kolong-kolong jembatan masih terjadi di mana-mana. Padahal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 berbunyi : “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Media mainstream hanya sibuk dengan konten berita politik pemerintahan yang itu-itu saja. 


Informasi tentang pengentasan kemiskinan nyaris tak tersetuh karena tidak menarik dibaca dan ditonton. Negara kaya raya tapi masih banyak rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Negara abai tapi pers diam saja. Fakir miskin dan anak-anak terlantar belum seluruhnya dipelihara oleh negara. 


Pola pengentasan masalah di negara ini pun bak pemadam kebakaran. Ketika ramai diberitakan media, barulah pemerintah turun tangan menangani masalahnya. Presiden Joko Widodo seolah bekerja sendirian dalam mengatasi persoalan di masyarakat. Media tidak memberi informasi yang konkrit di level paling bawah agar penguasa jadi tahu penyelesaiannya di level atas. Padahal rakyat kecil paling butuh nasibnya diekspos agar dilirik pemerintah dan pemangku kepentingan. 


Kembali pada persoalan sertifikasi kompetensi yang informasinya bergulir hangat dua hari terakhir ini. Muncul tangapan dan reaksi Dewan Pers, yang bagi penulis sesungguhnya itu menjadi harapan baru bagi masa depan kompetensi wartawan nasional. Intinya Dewan Pers sudah sepakat pelaksanaan sertifikasi kompetensi diletakan pada jalur yang benar yakni melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi.


Ada hal yang menarik disimak dari klarifikasi Ketua Dewan Pers Muh. Nuh bahwa pengajuan lisensi LSP ke BNSP harus ada rekomendasi dari Dewan Pers. 


Di satu sisi informasi ini merupakan angin segar bagi pers tanah air bahwa Ketua Dewan Pers Moh. Nuh sudah mengakui bahwa pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi wajib melalui LSP berlisensi BNSP dan memperoleh Rekomendasi dari Dewan Pers.


Keterangan itu pun harus diuji beradasarkan peraturan Badan Nasional Sertifikasi Profesi menyangkut syarat pendirian LSP dan konfirmasi langsung ke Ketua BNSP. Sampai hari ini belum ada pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Ketua BNSP kepada publik terkait persyaratan LSP di bidang pers. 


Dari sistem sertifikasi kompetensi nasional yang berlaku selama ini mengacu pada PP Nomor 10 Tahun 2018 tentang BNSP. Jadi aturan dan perangkat hukumnya jelas. 


Apapun keputusan pemerintah wajib hukumnya bagi semua LSP termasuk LSP Pers Indonesia mentaatinya. 


Dewan Pers sebagai lembaga independen sebaiknya legowo menerima masukan dan terbuka menerima kenyataan jika melakukan kekeliruan. Tidak perlu marah atau malu. Kelompok pers yang dilabeli abal-abal pun selama ini tetap menjalankan aktifitas meski dipotret abal-abal.  


Nah jika sekarang label abal-abal itu berusaha dilepas, maka kepentingan Dewan Pers sebagai lembaga independen yang didirkan untuk tujuan mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional harusnya berterima kasih bukannya kebakaran jenggot. Tujuan utama dari pendirian LSP Pers Indonesia adalah untuk meletakan pelaksanaan sertifikasi kompetensi wartawan pada jalur yang benar agar tidak melanggar undang-undang dan berpotensi dipidana. 


Publik akan menilai kenegarawan seorang Muhammad Nuh pada persoalan ini. Situasi ini menjadi ujian bagi Muh Nuh dan para anggota Dewan Pers, apakah kompeten sebagai Anggota Dewan Pers atau tidak. Jika ada kelompok yang selama ini dituding abal-abal dan kemudian membuktikan bahwa apa yang dituduhkan selama ini tidak benar dan justeru membuka mata semua pihak yang selama ini mempraktekan sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang dan melangar hukum,  perlukah dilawan dengan cara-cara yang melanggar kode etik jurnalistik ? 


Pada prinsipnya penulis pernah melewati menjadi reporter yang gajinya pas-pasan, sampai berada pada posisi tertinggi di keredaksian yakni pimpinan redaksi di sebuah harian lokal dan televisi lokal. Lahir dan besar dari keluarga wartawan, menjadi kebanggaan tersendiri. 


Penulis membuat gerakan kemerdekaan pers di Jakarta bersama sejumlah pimpinan organisasi pers, kemudian membentuk Dewan Pers Indonesia sebagai wujud implementasi upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan peningkatan kehidupan pers nasional. 


Dewan Pers Indonesia berusaha mengisi kekosongan yang ada dengan membentuk Dewan Pers Indonesia Perwakilan Provinsi dengan tujuan agar semua pengaduan masyarakat terkait sengketa pers bisa dilayani di tingkat daerah namun masih terganjal aturan dan sistem. 


Selanjutnya, pendataan media terhadap perusahaan pers yang dilakukan Dewan Pers Indonesia bertujuan untuk mempermudah warga negara Indonesia mendirikan media. 


Untuk meningkatkan kehidupan pers nasional atau peningkatan kesejahteraan pers, Dewan Pers Indonesia berusaha menyusun Draft APBD tentang belanja iklan nasional agar terdistribusi hingga ke daerah-daerah. Dan dengan cara ini media lokal akan sejahtera dan kerja sama media dengan pemerintah daerah tidak perlu lagi dilakukan demi menjaga indpendensi pers. Jika perusahaan pers bisa mendapatkan porsi belanja iklan maka diyakini wartawan makin sejahtera dan independen. 

Sumatera Utara menjadi target pertama pembahsan ranperda belanja iklan ini karena Ketua DPRD dan pemeritah setempat memahami potensi ini. 


Pilihan dan upaya ini yang sedang dilakukan DPI karena Dewan Pers tidak mampu menjalankan peran itu. 


Bicara kemerdekaan pers jika tidak dibarengi dengan upaya menciptakan pendapatan perusahaan maka semua pasti akan sia-sia. Income perusahaan media sudah pasti sebagian besar diperoleh dari jasa menyediakan sarana promosi produk melalui iklan di media. Hal inilah yang harus diperjuangkan. Bukannya DP sibuk urusin kerja sama pemerintah dengan media yang nilainya sangat kecil sekali dan idealisme pers jadi taruhan. 


Dampak rendahnya kesejahteraan wartawan dari segi kompetensi, misalnya wartawan dengan modal 3 buah sertifikat kompetensi sekalipun jika tidak sejahtera, maka pada gilirannya akan ikut menerima amplop saat menjalankan profesinya. Jika kompetensi seseorang turut dipengaruhi tingkat kesejahteraan maka tidak bisa tidak, upaya tersebut harus diperjuangkan. 


Apalah arti semua wartawan di UKW jika tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan atau kemampuan finasial media dan wartawan, maka ukuran kompetensi wartawannya menjadi tidak berkompeten. Fakta ril di lapangan ada ratusan wartawan, dan mungkin ada ribuan, yang bersertifikat UKW tapi tidak menerima gaji dari media tempatnya bekerja. Dewan Pers harus mampu menjelskan ke publik tentang jaminan kompetensinya apakah bisa terlaksana di lapangan jika kondisi kesejahteraan wartawan dan media masih seperti ini. ** ( Penulis : Heintje Mandagie)

Junjung Produk Pers, SPRI Apresiasi Langkah Kapolres Alor

By On Minggu, Oktober 24, 2021

 

 Kapolres Alor NTT, AKBP Agustinus Christmas Tri Suryanto


Medan, prodeteksi.com---- Terbaik! Mungkin kata itu paling tepat saat ini disematkan kepada Kapolres Alor NTT, AKBP Agustinus Christmas Tri Suryanto. Alasannya, perwira berpangkat Melati Dua itu baru saja mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) terhadap karya jurnalistik yang dilaporkan oleh Ketua DPRD Alor Enny Anggrek beberapa waktu lalu.


Memang langkah yang ditempuh AKBP Agustinus Christmas bukan hal baru dalam penanganan perkara dugaan tindak pidana (Tipid) yang ditangani oleh institusi Tribarata.


Dalam beberapa kasus delik aduan dugaan Tipid di berbagai wilayah di tanah air, penyelidik selalu mempertimbangkan aspek yuridis termasuk saat menangani perkara lex specialis derogat legi generali, lalu memutuskan, apakah perkara tersebut perlu ditingkatkan ke tahap ke Penyidikan. Atau bahkan harus dihentikan termasuk delik aduan sekalipun yang diterima Polisi.


Menariknya Polres Alor dibawa komando AKBP Agustinus Christmas saat ini terbilang sangat bijak dalam menangani delik aduan terhadap produk Pers (lex specialis derogat legi generali). Tentu ada alasan dibalik pertimbangan tersebut, tidak hanya menghormati adanya MoU antara Kapolri dan Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa Pers. 


Mantan Kasubdit II Direktorat Intelkam Polda Maluku itu tergolong Kapolres yang menghormati mekanisme yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.


Hal itu dilakukan Agustinus lewat laporan dugaan pelanggaran UU ITE diadukan Enyy Anggrek kepada Dematrius Mesak Mautuka selaku Pemimpin redaksi (Pemred) media siber Tribuanapos.net melalui Dewan Pers. Langkah Kapolres Alor itu patut dipuji dan dicontoh oleh Polda dan Polres di tanah air.


"Kami DPP SPRI sangat mengapresiasi dan kami layak memberikan dua jempol tanda terbaik kepada Kapolres Alor AKBP Agustinus Christmas karena beliau sangat menghormati asas, norma dan mekanisme yang diatur oleh UU Pers," kata Koordinator Wilayah (Koorwil) Barat Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia (DPP SPRI) Devis Abuimau Karmoy dalam keterangan persnya, Minggu (24/10/2021) siang, di Medan.


Pria kelahiran Maritaing (Alor, NTT) pada 38 tahun lalu itu, menyebutkan bahwa sejatinya langkah yang dilakukan Polisi pada awal menerima laporan/pengaduan masyarakat terhadap produk pers, adalah meminta keterangan ahli di Dewan Pers sebagaimana diatur dalam poin-poin MoU Kapolri-Dewan Pers.


Menariknya, kata Devis, dalam keterangannya Dewan Pers tidak mempersoalkan status Pemimpin Redaksi Tribuanapos.net seperti kompetensi secara berjenjang termasuk verifikasi maupun non verifikasi sebagaimana yang diatur dalam kebijakan Dewan Pers.


"Produk pers berupa tulisan, baik opini, fakta jurnalis dan kritik pers harusnya dihormati semua pihak. Sehingga sebisa mungkin menghindari upaya kriminalisasi terhadap karya jurnalistik yang telah di publish. Sikap Kapolres Alor AKBP Agustinus Christmas harus menjadi contoh yang bagi semua pihak," tandas Devis Karmoy.


Sebelumnya pada 22 Mei 2020 lalu, Polres Alor menerima pengaduan Ketua DPRD Alor Enny Anggrek. Politisi PDI Perjuangan kabupaten Alor itu melaporkan pemred Tribuanapos.net dengan tuduhan pelanggaran UU ITE.


Penyidik di Polres Alor pun sempat melakukan penyelidikan termasuk memeriksa sejumlah saksi itu sempat dilakukan proses penyelidikan oleh Penyidik Polres Alor.


Laporan Enny Anggrek terkait video yang tayang di portal Tribuanapos.net, video tersebut berisi sidang Kode Etik terhadap enam anggota DPRD Alor pada tanggal 4 dan 5 Mei 2020 yang berujung kisruh.


Video itu sempat viral dan menjadi perbincangan warganet. Lantaran tidak terima dengan produk pers itu, Ketua DPRD Alor lantas mengadukan Dematrius Mesak Mautuka ke Polres Alor.


Namun, laporan Ketua DPRD Alor itu mendapat pertimbangan dari Dewan Pers atas permintaan tertulis dari Polres Alor kepada Dewan Pers sebagai saksi ahli. Dewan Pers menyimpulkan bahwa konten video yang ditayangkan Tribuanapos.net merupakan karya jurnalistik sehingga tidak dapat dipidana. 


Jawaban Dewan Pers kemudian dijadikan rujukan Polres Alor dengan menghentikan proses penyelidikan atas pengaduan Ketua DPRD Alor.***

Menunggu Kalimat Damai dari Sang Ketua Dewan

By On Senin, Mei 04, 2020


OPINI
Oleh
Baldi Pramana, SH,MK.n
(Pemerhati Hukum, Sosial, Politik & Bisnis Pasbar)

"Bagi orang awam tidak memahami jika ada kode etik dan tata cara berprilaku di medsos. Sungguhpun demikian, mereka juga rakyatmu, butuh perhatian dan bimbingan sang ketua maka berdamailah."

Beberapa hari yang lalu kita, masyarakat Kabupaten Pasaman Barat dikejutkan dengan  pemberitaan   pelaporan dugaan tindak pidana pencermaran nama baik yang di alami oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) ke Polres Pasbar. Beliau juga merupakan Ketua Pengurus Daerah Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) Kabupaten Pasaman Barat, Bpk Ir. Parizal Hafni,

Sebagaimana dilansir (media online pasbar,klikpositif), ketua meradang  dan melaporkan empat akun facebook atas nama Abdillah Rasyid, Mahmudan Nasution, Afwan Alfarizi dan Zaza Sastra Wiraga dengan dugaan pencemaran nama baik. Hal ini terkait komentar mereka pada postingan facebook Group Mata Rakyat  Pasaman Barat (MRBP), tanggal 29/4/2020, keempat akun tersebut dinilai berkomentar tidak pada tempatnya dan telah menyerang kehormatan dengan menebar fitnah.

Saat ini sejumlah penggunaan facebook sebagai media  kontrol dalam penyampaian kritik dan saran terhadap penguasa telah banyak memakan korban. Dengan dalih pencemaran nama baik yang dapat membungkam warga awam yang miskin pengetahuan dan kode etik serta aturan bersosmed.

Sebagai warga Kabupaten Pasaman Barat tentu akan merasa khawatir dengan adanya pelaporan tersebut. Media sosial sebagai sarana menyampaikan kritik dan saran munngkin merasa dipertakut dengan kasus ini. 

Namun bagi warga yang lain justru merasa turut prihatin dan terdorong untuk nimbrung dalam membahas kasus ini. Mumpung tahun politik dinamikanya pun mengundangi magnet keingintahuan warga atas permasalahan kenapa  keempat orang tersebut dilaporkan ke Polres Pasaman Barat.

Adalah hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan hukum dari negara dan tindak pidana pencemaran nama baik adalah delik aduan. Untuk itu polisi baru akan melakukan proses hukum apabila ada pihak yang melapor  prestiwa pencemaran nama baik yang di alaminya.

Dalam Kitab Undang undang Hukum Pidana tindak pidana pencemaran nama baik diatur pada pasal 310 ayat 1 dan 2, jo pasal 27 ayat 3 yo pasal 45 ayat 3 Undang -Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang pada pokoknya delik pencemaran nama baik yaitu seseorang membuat penghinaan/ ujaran kebencian terhadap orang lain jatuhi pidana.

Meski telah mendapat jaminan & perlindungan hukum dari negara berupa hak untuk melaporkan suatu tindak pidana,  tetapi ketika persoalan dugaan pencemaran nama baik melibatkan warga negara biasa dengan pejabat negara akan terlihat menggelitik dan mungkin kurang elok.

Bagaimana nalar hukum bekerja ketika warga biasa dilaporkan ke penegak hukum akibat mengkritisi kinerja pejabat tersebut, bagaimana bisa seorang pejabat negara berkomunikasi dengan rakyat tanpa ada mekanisme di luar pengadilan. Apalagi sebagai pejabat publik dilahirkan dari masyarakat dan oleh karena masyarakat diharapkan tidak memempuh cara-cara rigit (kaku) dalam menyelesaikan masalah.

Sesuatu hal yang wajar di alam demokrasi jika ada aspirasi dari constituen (pemilih) tersampaikan dengan cara awam, tidak mengenakkan di hati. Dan sebagai orang lain dapat memahami sebagai bentuk dari konsep take and give (mengambil dan memberi) seorang figur publik baiknya berorientasi simbiosis mutualisma (atas hubungan yang saling menguntungkan) dalam dunia politik lumrah.

Jika menelaah waktu dan tempat pelaporan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik ini, hemat kami belum pada waktu dan tempatnya. Seharusnya ada mekanisme lain sebelum menempuh jalur hukum. Bila yang bersangkutan dirasa salah bisa saja diminta klarifikasinya terkait maksud komentarnya.

Yang bersangkutan juga dapat diberi kesempatan untuk minta maaf  apabila salah (somasi). Bahwa gaya berkomunikasi setiap pejabat negara berbeda-beda satu dengan yang lainnya di pengaruhi oleh karaktek, sikon juga strategi berkomunikasi setiap mereka.

Dalam kasus ini sang ketua lebih menerapkan pola pendekatan hukum dari pada pendekatan pendidikan sosial politik dengan menomor duakan mediasi atau musyawarah. Artinya berhadapan dua pihak yang secara status sosial berbeda. Pilihan ini bukan tanpa dasar disamping karena kejadian ini terjadi pada saat umat muslim sedang khusuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1414 H juga persoalan wabah covid 19 sedang melada kita.

Sekarang, kasus ini sudah berada di tangan aparat penegak hukum. Polisi akan melakukan penyelidikan dan penyidikan guna menentukan apakah suatu dugaan tindak pidana memenuhi unsur-unsur atau sebaliknya. Polisi akan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup.

Tugas aparat penegak hukum menemukan unsur-unsur pidana dan saling keterkaitan antara tindakan dengan pasal penghinaan yaitu berupa : unsur kesengajaan, menyerang kehormatan/ nama baik/ menuduh suatu perbuatan dan menyebarkan informasi. Secara teknis penyelidikan dan penyidikan guna mentukan apakah ada unsur tindak pidana polisi mencari alat bukti bukti dapat berupa scren shoot, foto, akun fb, teks, HP, dan dokumen terkait lain.   

Untuk itu, mumpung  ini bulan Ramadhan 1441 H kesucian dan barokahnya tidak bisa dipungkiri barokallahi lil alamin pahala di bulan ini berlimpah ruah. Maka seyoknyalah kita menghindari perselisihan antar sesama muslim.

Bukankah puasa juga mengajarkan kepada kita untuk saling menahan diri dari hawa nafsu yang akan membatalkan puasa, fitnah, dengki atau saling menghujat harus kita hindari. Bulan ini juga madrasyah jasmani dan rohani untuk saling menahan emosi.

Dimasa-masa sulit seperti ini kita pun sedang berjuang menanggulangi wabah corona 19. Tekanan hidup semakin tinggi, kebutuhan pokok sebagian besar warga tidak mencukupi dan bisa saja salah satu pihak sedang mengalami hal ini.

Mereka dengan fulgar tanpa filter berkomentar ingin diperhatikan oleh pemerintah. Disini mengeluarkan ungkapan dalam bentuk komentar atau postingan di medsos. 

Bagi orang awam tidak memahami jika ada kode etik dan tata cara berprilaku di medsos. Sungguhpun demikian, mereka juga rakyatmu, butuh perhatian dan bimbingan sang ketua, maka berdamailah. ****( Penulis : Baldi Pramana, Hp : 082169220161)

Mendata BLT harus De Joure & Defakto agar Tepat Sasaran

By On Jumat, Mei 22, 2020

OPINI

Oleh
Baldi Pramana, SH. MK.n

Wabah penyakit seperti virus corona disease 19 bukanlah kejadian baru di bumi  ini. Dalam catatan sejarah peradaban dunia, pandemi seperti ini sudah beberapa kali terjadi. Bumi pernah mengalami epidemi pada tingkat yang paling dahsyat, namun tidak dengan tingkat efect sebesar saat ini. Wabah covid 19 memukul semua sektor ekonomi, PHK besar-besaran di berbagai sub sektor usaha, baik industri atau manufaktur, sektor perkebunan dan pertanian membuat petani menderita dikarenakan harga dan hasil panen anjlok. Atas dasar wabah covid 19 berdampak sistemik bagi semua kehidupan Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan untuk meringankan beban warga dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai BLT. 

Payung hukum BLT terdampak Covid 19 merujuk pada Peraturan Menteri Desa (Nagari) dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendes PDTT) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020, ini menjadi dasar juridis dan implementatif Bantuan Langsung Tunai (BLT) tersebut.

Pemerintah menyebutkan siap mengucurkan dana senilai Rp 22,4 triliun untuk 12.487.646 kartu keluarga miskin. Besaran dana ini sesuai arahan Presiden, yaitu 31 persen dari total Dana Desa 2020, Rp 72 triliun. Yang menjadi target atau sasaran penerima BLT paling utama keluarga miskin non Program Keluarga Harapan (PKH) atau masyarakat yang menerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Selain itu, BLT juga akan diberikan pada keluarga yang belum mendapatkan manfaat Kartu Prakerja, kehilangan mata pencaharian, belum terdata bantuan pemerintah dan mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun atau kronis. 

Yang menjadi pertanyaannya bagaimana mekanisme pendataan, penetapan dan penyaluran program BLT Dana Desa (Nagari) sehingga  tertunda-tunda, dibeberapa daerah data penerima  sangkarut marut dan menuai protes. Bahwa mekanisme pendataan BLT Dana Desa (Nagari) dilakukan oleh Relawan Covid-19/petugas nagari. Mereka bertugas pada lingkup RT/Jorong untuk mengumpulkan kartu keluarga, setelah data terkumpul,  hasilnya dimusyawarahkan dengan Bamus nagari dalam agenda khusus atau musyawarah insidentil dengan agenda, yaitu validasi dan finalisasi data. 

Setelah dilakukan validasi dan finalisasi pendataan BLT Dana Desa (Nagari) selanjutnya ditandatagani oleh Wali Nagari, dari hasil verifikasi dokumen tersebut  dilaporkan kepada Bupati  melalui Camat. Permasalah baru timbul dan akan mengundang klaim warga ketika BLT yang akan di salurkan Pemda kepada sasaran  tidak valid, artinya warga banyak yang mengeluh disebabkan data calon penerima BLT banyak over lapping, warga yang meninggal dunia masih tercantum, keluarga secara status sosial belum layak untuk mendapatkan dan lain-lain. Atas dasar permasalahan pendataan, penulis mencoba mengurai akar problematika pendataan BLT Dana Desa (Nagari) sehingga tertunda oleh beberapa faktor.

Pertama, karena sistem informasi administrasi keluarga miskin/pra sejahtera / kependudukan yang dikelola oleh Pemerintah Daerah (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil/ Pemnag/ Dinsos) dan Kementerian Dalam Negeri (Direktorat Jendral Administrasi Kependudukan) Kementrian Sosial/ Kemendes PDTT)  belum dapat diandalkan/ tersedia, jikapun tersedia dari segi cakupan, kemutahiran dan akurasi sangat jauh dari kondisi real, maka jangan heran apabila banyak data perima PKH, BPNT, E- warung hingga kartu prakerja masuk dalam daftar penerima BLT. 

Kedua, perlunya dianut sistem pendataan keluarga miskin/prasejahtera berkelanjutan  (continuous register or list), dalam undang-undang harus ada pasal yang mengatur tentang pendataan dan status sosial warga sebagai hak dasar mendapatkan jaminan bernegara. Andai data ini ada sistem pendataan ini diharapkan menjamin akurasi dan ketersedian data, karena pendaftaran keluarga miskin/ prasejahtera tidak selalu dimulai dari data mentah, namun hanya melanjutkan dari data yang telah ada. Jika tidak di pastikan kejadian yang sama akan terulang pada kesempatan yang lain. 

Ketiga, untuk melaksanakan tugas pemutakhiran data keluarga miskin sebagaimana dengan sistem pendataan diatas, pemberian tugas dan kewenangan penuh Pemda kabupaten beserta aparatnya, dalam hal in Nagari sebagai ujung tombak untuk melakukan pemutakhiran data keluarga miskin/pra sejahtera setiap tahun berdasarkan sistem informasi data sebelumnya. 

Keempat, tersedianya anggaran dalam jumlah dan waktu yang ditentukan, sebab persoalan keluarga miskin/prasejahtera sangat rumit. Salah satu sebab masalah kurang akuratnya data keluarga miskin/prasejahtera adalah oleh  keterbatasan dana melakukan pemutakhiran data keluarga miskin/prasejahtera. Untuk itu selain ketersedian dana dan waktu, Undang-undang tentang keluarga miskin/ prasejahtera perlu juga mengamanatkan definisi siapa keluarga miski/ prasejahtera sehingga ada jaminan untuk tersedianya data yang akurat. 

Kelima, partisipasi warga dalam mengkoreksi data penerima BLT berkelanjutan pada papan pengumuman di kantor Wali Nagari sehingga ada kroscek data termutakhir. Akurasi data di antaranya ditentukan oleh respons berupa masukan dan tanggapan dari masyarakat nagari, data di akses sebagai keterbukaan informasi publik. Data di umumkan bisa juga sebagai data sementara penerima BLT jika ada tanggapan dan masukan dari warga maka tugas nagari guna meneksekusi pencoretan setelah ada verifikasi di lapangan.

Sekarang, keadaan ini sudah berjalan selama tiga bulan, warga  berada dalam penantian, resah dan banyak yang prustasi dengan pertanyaan kapan virus covid 19 ini berakhir, mereka berharap ada bantuan langsung tunai dari pemerintah agar asap dapurnya tetap ngebul. Keadaan ini sudah lama, sebagai respon cepat turunkan saja   data hasil pemutahiran penerima BLT terkahir dari nagari, dengan catatan data tersebut oleh petugas nagari/relawan covid 19 wajib di kroscek dan disandingkan ulang dengan data lain sebagaiman aturan teknis dimana ada skala prioritas artinya mereka  mendata keluarga miskin/prasejahtera,  keluarga yang belum mendapatkan manfaat Kartu Prakerja, kehilangan mata pencaharian, belum terdata bantuan pemerintah dan mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun atau kronis. 

Petugas  secara dejure dan de fakto memastikan jika baik secara hukum/aturan/petunjuk teknis/sop pemberian BLT keluarga itu layak, begitu juga secara de fakto (verifikasi faktual) bahwa mereka juga layak mendapatkan BLT, meski anggaran untuk itu terbatas dan tidak semua keluarga bisa tercover tetapi ada skala prioritas. (Penulis : Pemerhati masalah Sosial, Politik, Hukum dan Bisnis Kabupaten Pasaman Barat)

Verifikasi dan UKW Terkesan Hanya Kepentingan, Belum Berdampak Positif untuk  Kesejahteraan dan  Hasil Karya Tulis Wartawannya

By On Kamis, September 16, 2021

OPINI/ PERSFEKTIF


Oleh:

ZULKIFLI NASUTION

( Pemerhati Pers/ Jurnalis di Pasaman Barat)


Bila kita berbicara verifikasi media dan sertifikasi melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dilaksanakan Dewan Pers, ibarat hanya membahas segelintir  organisasi profesi yang memburu bisnis kepentingan. Dan  juga terkesan bahwa segintir organisasi profesi itu bisa mengatur dan mengelabui para wartawan dengan selimut kompetensi.



Hal ini dicurigai dapat dimanfaatkan oleh oknum pemerintah agar media atau wartawan tidak sembarang membuat sensasi berita. Walau berita itu fakta tapi jika akan membahayakan posisi kekuasaan dan akhirnya dengan mudah menyerang media atau wartawan tersebut, dengan menyebut  ‘abal-abal’ dengan dalih belum disertifikasi dan wartawannya kacangan, karena belum di uji kompetensinya oleh Dewan Pers.  



Seharusnya kalau kita berbicara Sertifikasi dan Kompetensi, janganlah hanya berbicara legalitas dan kwalitas. Tapi mari kita bahas juga secara tuntas bagaimana melalui sertifikasi dan kompetensi ini akan berdampak positif pada hasil karya tulis yang didukung dengan peningkatan kesejahteraan para wartawannya.



Bila semua media sudah mendapat tempat dan posisi yang sama di pemerintahan sesuai dengan porsinya, bukan karena sertifikasi akal-akalan maka wartawan yang direkrutnya dengan sendirinya akan terfilter dari kwalitas yang profesional dan memiliki kompetensi yang teruji. Bukan kompetensi bisnis akal-akalan yang ada selama ini. Bila semua ini dilaksanakan dengan proporsional dan profesional maka soal media abal-abal dan wartawan kacangan akan terjawab dengan sendirinya.


 

Saat ini adakah jaminan bagi media yang telah terverifikasi untuk mendapat porsi dan tempat yang sama dalam pengembangannya sebagai perusahaan bisnis media di semua lini ?


 

Dan saat ini adakah jaminan bagi wartawan yang telah lolos uji kompetensi sesuai tingkatannya untuk mendapatkan kesejahteraannya melalui jasanya yang setara dengan pendapatan pegawai atau aparatur sesuai golongannya pula...?


 

Jangan bicara VERIFIKASI dan KOMPETENSI bila belum adanya komitmen untuk peningkatan  kesejahteraan Wartawan,



Bila komitmen itu sudah ada dan dirasakan oleh seluruh Insan Pers tanpa terkecuali sesuai dengan kompetensi resminya, maka perang melawan berita hoaks akan terjawab, sebab kesejahteraan wartawan tentu sudah terjawab. (Zoelnasti)


Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *